Stunting adalah kondisi terhambatnya pertumbuhan pada balita yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam rentang waktu yang cukup lama. Umumnya, hal ini terjadi karena asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, stunting juga kerap dikaitkan dengan penyebab perkembangan otak yang tidak maksimal. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mempengaruhi kemampuan mental dan belajar yang tidak maksimal.
Mengutip UNICEF, stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak di usia 0 sampai 59 bulan dengan tinggi badan di bawah minus (stunting sedang dan berat) serta minus tiga (stunting kronis). Ini diukur dengan menggunakan ukuran standar pertumbuhan anak oleh Organisasi Kesehatan Global (WHO).
Sementara itu, stunting umumnya terjadi karena kurangnya asupan nutrisi pada seribu hari pertama anak, yang dimulai sejak janin hingga usia dua tahun. Jika pada rentang waktu ini gizi dan nutrisi tidak tercukupi, maka dampak yang ditimbulkan memiliki efek jangka pendek dan panjang.
Pada efek jangka pendek, ini meluputi hambatan perkembangan, penurunan fungsi kekebalan, penurunan fungsi kognitif, dan gangguan sistem pembakaran. Sedangkan, efek jangka panjangnya dapat meliputi obesitas, penurunan toleransi glukosa, penyakit jantung coroner, hipertensi, hingga osteoporosis.
Lalu, bagaimana dengan tingkat prevalensi stunting di Indonesia dan apa upaya pemerintah untuk mengatasinya? Berikut selengkapnya.
RI miliki tingkat prevalensi stunting tertinggi kedua di ASEAN pada 2020
Mengacu pada laporan Organisasi Kesehatan Global (WHO), sekitar 149,2 juta atau 22% anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia diperkirakan mengalami stunting pada tahun 2020 silam. Angka ini menurun sebesar 27% di bandingkan dua dekade lalu di tahun 2000.
Jika ditilik berdasarkan regional, Afrika merupakan wilayah dengan prevalensi tertinggi di tahun 2020 dengan persentase mencapai 31,7% menurut data WHO. Diikuti oleh wilayah Asia Tenggara dengan prevalensi stunting mencapai 30,1% dan wilayah Mediterania Timur dengan 26,2%.
Adapun, Indonesia menjadi negara dengan prevalensi stunting tertinggi kedua se-Asia Tenggara pada 2020. Berdasarkan laporan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), tingkat prevalensinya mencapai 31,8%.
Sementara, Timor Leste berada di posisi pertama dengan tingkat prevalensi stunting balita mencapai 48,8%. Disusul oleh Laos di peringkat ketiga setelah Indonesia dengan prevalensi 30,2%. Disusul oleh Kamboja dengan 29,9%, Filipina 28,7%, Myanmar 25,2%, dan Vietnam 22,3%.
Selanjutnya ada Malaysia dengan prevalensi sebesar 20,9%, Brunei Darusssalam dengan tingkat 12,7%, dan Thailand dengan 12,3%. Di sisi lain, Singapura menjadi negara dengan tingkat prevalensi stunting balita terendah di Asia Tenggara sebesar 2,8%.
Upaya pemerintah dalam penurunan stunting di Indonesia
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) oleh Kemenkes, prevalensi stunting di Indonesia dilaporkan mengalami penurunan pada tahun 2022. Tercatat, angkanya turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% pada 2022.
Adapun, angka tersebut merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir. Jika melihat trennya, angka stunting di Indonesia secara konsisten menurun sejak 2013. Di tahun itu, prevalensi stunting di Indonesia mencapai 37,2%.
Untuk mendukung pelaksanaan percepatan penurunan stunting, Presiden RI Joko Widodo memproyeksikan target prevalensi stunting di Indonesia menurun sebesar 14% di tahun 2024 mendatang. Target tersebut terkandung dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
“Jadi, target 14% itu bukan target yang sulit hanya kita mau atau tidak mau. Asalkan, kita bisa mengonsolidasikan semuanya dan jangan sampai keliru cara pemberian gizi,” ungkapnya dikutip dari Kemenkes.
Mengutip laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai indeks khusus penanganan stunting (IKPS) 2020-2021, percepatan penurunan angka stunting di Indonesia dilakukan melalui intervensi spesifik dan intervensi sinergi oleh seluruh pihak yang terkait.
Terkait hal ini, Menteri Kesehatan Budi Sadikin memfokuskan sebelas program intervensi spesifik dalam upaya pemerintah untuk menurunkan stunting. Salah satunya adalah program pendidikan, edukasi, dan promosi yang mencakup kedua fase pertumbuhan anak, yakni fase sebelum melahirkan dan fase setelah melahirkan.
“Kita mengejar kedua fase ini, karena fase ini yang determinan terhadap stunting paling tinggi. Penyebab tingginya stunting ada di fase-fase tersebut,” ungkapnya.
Budi menganalogikan stunting seperti kanker, yang memiliki stadium. Jika sudah mengalami stunting, maka ini sudah telat seperti kanker yang telah berada pada stadium 4. Ia mengatakan bahwa kemungkinan untuk sembuh sangat sulit.
Ia menjelaskan, rata-rata kemungkinannya untuk sembuh dari stunting hanya sebesar 5%. Namun, jika orangtua memiliki dedikasi yang tinggi untuk rutin melakukan perawatan di rumah sakit, maka persentase kemungkinannya untuk sembuh mencapai 20%.
“Jadi, kalau bayi stunting ada 4,4 juta dengan sosialisasi dan dedikasi yang tinggi hanya 20% saja yang bisa sembuh. Sementara, yang lainnya sudah pasti stunting, jadi sudah telat. Maka, yang harus dilakukan adalah mencegah agar anak tidak mengalami stunting,” ucap Budi.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Editor