Indonesia sering mengalami bencana alam karena letaknya yang berada di titik pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Hal ini berpotensi memicu bencana besar seperti banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, serta erupsi gunung api. Sejumlah pakar dan institusi memantau bahwa potensi bencana di Indonesia akan meningkat sepanjang tahun 2025.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa per 1 Januari hingga 17 Maret 2025, Indonesia telah mencatat 641 kejadian bencana, yang mayoritas adalah bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor. Peningkatan intensitas curah hujan telah berkontribusi terhadap semakin seringnya intensitas bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Dampak dari bencana yang tercatat yakni sebanyak 110 orang meninggal, 17 orang hilang, 121 orang mengalami luka-luka, dan 2.245.787 orang terdampak serta mengungsi.
“Hari ini tanggal 10 Maret 2025, kami sudah mencatat 614 kali bencana. Ini bencana yang dicatat oleh BNPB adalah bencana-bencana yang di mana daerah meminta bantuan kepada BNPB dengan menetapkan status siaga ataupun tanggap darurat,” tutur Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, Jakarta, Senin (10/3/2025), mengutip RRI.
Tingginya frekuensi bencana alam di Indonesia menjadi tantangan tersendiri dalam upaya adaptasi dan mitigasi. BNPB akan terus memantau keadaan ini hingga berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk penanganan lebih lanjut.
BNPB mencatat bahwa banjir menjadi jenis bencana yang mendominasi di Indonesia dengan total 441 kasus sepanjang 2025. Lalu, cuaca ekstrem juga menjadi bencana yang signifikan dengan total 108 kasus dicatat dalam waktu yang sama. Tanah longsor menyusul dengan 59 kejadian tercatat.
Selanjutnya terdapat 26 kejadian karhutla, 3 kejadian gelombang pasang dan abrasi, serta 2 kejadian untuk bencana alam gempa bumi dan erupsi gunung api.
Untuk dampak kerusakan akibat bencana yang terjadi, BNPB melaporkan 7.181 rumah mengalami kerusakan, terdiri dari 5.379 rumah rusak ringan, 1.005 rumah rusak sedang, dan 797 rumah rusak berat. Sedangkan untuk fasilitas yang rusak, totalnya mencapai 68 fasilitas, terdiri dari 42 unit pendidikan, 19 rumah ibadat, dan 7 fasyankes.
Indonesia Jadi Negara dengan Risiko Bencana Alam Tertinggi Ke-2
World Risk Index (WRI) mengevaluasi ancaman bencana dari 193 negara, menilai seluruh anggota PBB serta lebih dari 99% penduduk global. Indeks ini ditentukan berdasarkan bahaya dan risiko terkait cuaca ekstrem, konflik, pandemi, perubahan iklim, pertumbuhan populasi, ketidakstabilan politik, krisis air, dan bencana alam.
Berdasarkan laporan tersebut, Indonesia tercatat sebagai negara kedua yang memiliki risiko bencana alam paling tinggi pada 2024 dengan indeks yang mencapai 41,13, setelah Filipina yang memiliki nilai indeks 46,91.
Selanjutnya, India menjadi negara dengan risiko bencana alam tertinggi pada 2024 berikutnya dengan nilai indeks 40,96. Di posisi keempat ada Kolombia dengan indeks 37,81, diikuti oleh Meksiko yang berada di posisi kelima dengan indeks 35,93.
Negara-negara lain dengan risiko bencana alam tinggi pada 2024 antara lain Myanmar (35,85), Mozambik (34,44), Rusia (28,12), Bangladesh (27,73), serta Pakistan di urutan terakhir dengan indeks 27,02.
Strategi Mitigasi Bencana
Indonesia harus mempersiapkan strategi darurat dan mitigasi yang tepat untuk menghadapi bencana, mengingat statusnya sebagai negara kedua dengan risiko bencana alam tertinggi pada 2024.
Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang akurat, terutama bagi mereka yang berada di kelompok bawah serta individu dengan disabilitas untuk memahami sistem mitigasi bencana yang bertujuan untuk mengurangi risiko dan dampak, seperti jumlah korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan lingkungan.
“Banyak warga kita tinggal di wilayah yang rentan atau terancam bahaya bencana, baik itu gempa bumi, kemudian longsor, banjir, dan sebagainya. Kerentanan penduduk di daerah perkotaan, itu diperparah lagi oleh adanya kemiskinan dan kesenjangan sosial. Ini akan terus terang membatasi masyarakat dalam berinvestasi untuk kesiapsiagaan dan ketahanan infrastruktur,” kata Guru Besar Geologi Universitas Gadjah Mada, Prof. Wahyu, dalam pers, Rabu (5/2/2025) mengutip VOA.
Baca Juga: Bencana Banjir Indonesia 10 Tahun Terakhir, Terparah di 2021