Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menjadi ajang pesta demokrasi yang spesial. Pasalnya, pilkada kali ini merupakan pilkada serentak pertama kali yang diikuti oleh seluruh wilayah di Indonesia, yang terdiri atas 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Berbagai partai pun berlomba-lomba mengajukan kader terbaiknya. Namun, bergabungnya partai-partai besar membentuk sebuah koalisi membuat partai kecil atau calon perseorangan sulit bersaing. Fenomena ini kemudian melahirkan kandidat tunggal di beberapa wilayah di Indonesia, di mana mereka akan berhadapan dengan kotak kosong.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat bahwa sejak masa daftar calon kepala daerah untuk Pilkada 2024 berakhir, terdapat 43 daerah yang memiliki calon tunggal yang terdiri atas 37 kabupaten, 5 kota, serta 1 provinsi.
Jumlah calon tunggal di Pilkada 2024 ini merupakan yang tertinggi dibandingkan pilkada serentak yang dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya di Indonesia. Pada 2015, hanya terdapat 3 calon tunggal saja. Pada 2017, jumlahnya naik menjadi 9 calon, dan kembali meningkat di 2018 menjadi 16 calon. Terakhir, KPU mencatat ada 25 calon tunggal pada Pilkada 2020.
Kepala Program Studi Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Mada Sukmajati, memaparkan pendapatnya mengenai fenomena tersebut. Menurutnya, walaupun jumlah calon tunggal relatif mengalami kenaikan, jumlahnya tahun ini tetap tidak dapat dibandingkan dengan pilkada tahun-tahun sebelumnya.
“Bedanya, saat itu pilkada diadakan secara bukan bergelombang sehingga pilkada sebelumnya tidak dapat dibandingkan dengan Pilkada 2024 yang digelar serentak,” tutur Mada seperti yang dikutip dari Humas UGM.
Lantas, bagaimana pendapat masyarakat secara luas sebagai calon pemilih mengenai fenomena munculnya calon tunggal ini?
Pandangan Masyarakat terhadap Fenomena Calon Tunggal di Pilkada
Litbang Kompas telah melakukan jajak pendapat via telepon pada 19-21 Agustus 2024 mengenai pendapat masyarakat berkaitan dengan penyebab munculnya calon tunggal di Pilkada 2024.
Survei tersebut melibatkan 536 responden yang berasal dari 38 provinsi di Indonesia. Adapun tingkat kepercayaan dari jajak pendapat ini adalah 95% dengan margin of error kurang lebih 4,23%.
Berdasarkan hasil jajak pendapat, sebanyak 36,7% masyarakat percaya bahwa penyebab munculnya calon tunggal adalah karena permainan aktor politik dan para elite. Selain itu, 31,3% masyarakat juga meyakini bahwa kaderisasi partai politik yang tidak berjalan dengan baik turut menjadi penyebab dari maraknya jumlah paslon tunggal di pilkada.
Selanjutnya, sebanyak 18,3% masyarakat berpendapat bahwa penyebab dari munculnya banyak calon tunggal adalah karena tidak ada kandidat lain yang tepat atau mumpuni. Sementara itu, 13,7% responden masih belum tahu.
Baca Juga: Krisis Demokrasi di Tengah Fenomena Calon Tunggal Pilkada
Semakin Banyak Opsi, Masyarakat Semakin Suka
Dalam survei yang sama, diketahui bahwa sebanyak 49,9% masyarakat lebih menyukai apabila terdapat lebih dari dua opsi pasangan calon yang berlaga. Selanjutnya, 31,9% responden mengaku lebih memilih dua calon yang berlaga, serta hanya 15,2% yang menyukai calon tunggal. Sementara itu, sebanyak 3% responden menjawab belum tahu.
Lebih jauh, dalam survei yang sama, diketahui bahwa sebanyak 54,5% masyarakat tidak setuju dengan hadirnya calon tunggal, sedangkan 45,3% lainnya setuju.
Fenomena Paslon Tunggal Jadi Indikasi Degradasi Demokrasi di Indonesia
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada sekaligus Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik di Northern Illinois University (NIU) Amerika Serikat Arga Pribadi Imawan, menuturkan pendapat mengenai tren paslon tunggal di Pilkada 2024 tersebut.
Menurut Arga, fenomena calon tunggal ini merupakan implikasi dari Pemilu 2024 lalu. Terdapat efek ekor jas (coattail effect) dari pemenang pemilu yang berpengaruh dalam pembentukan peta persaingan politik dalam konteks politik lokal/daerah. Hal ini seperti yang dikutip dari The Conversation.
Arga menambahkan bahwa fenomena calon tunggal semacam ini telah berbahaya bagi iklim demokrasi di Indonesia. Situasi ini telah membuat masyarakat dipaksa untuk memilih satu calon yang diusung oleh koalisi gemuk partai. Masyarakat pun juga tidak memiliki alternatif pilihan lain selain kandidat tunggal tersebut.
Terdapat peranan besar partai politik dalam mendorong fenomena ini. Ia berpendapat bahwa saat ini partai politik seakan-akan mempersulit pintu kompetisi dengan menambah persyaratan yang tinggi bagi calon independen atau perseorangan.
Penting bagi partai politik untuk bersifat inklusif dengan membuka kesempatan yang luas bagi masyarakat umum agar bisa berpartisipasi dalam kontestasi pilkada. Dengan demikian, demokrasi di Indonesia akan semakin berjalan sehat karena kandidat tak hanya berasal dari perwakilan partai politik, tetapi dapat benar-benar merepresentasikan masyarakat.
Baca Juga: Simak Daftar Daerah dengan Calon Tunggal di Pilkada 2024
Penulis: Elvira Chandra Dewi Ari Nanda
Editor: Editor