Sisi Gelap AI: Ancaman Baru bagi Lingkungan?

AI bak pisau bermata dua, pemanfaatan yang tidak hati-hati bisa membawa risiko besar bagi kesehatan lingkungan.

Sisi Gelap AI: Ancaman Baru bagi Lingkungan? Ilustrasi Penggunaan AI | Pexels
Ukuran Fon:

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi membawa berbagai kemudahan dalam aktivitas sehari-hari. Salah satu perkembangan yang disorot adalah terkait kecerdasan artifisial (AI). Pemakaian AI semakin marak dalam kegiatan sehari-hari, membantu menyelesaikan berbagai tugas dan tanggung jawab secara lebih efektif dan efisien, serta minim kesalahan manusia. Tidak heran jika kini, kebanyakan perusahaan justru mendorong pekerjanya untuk memanfaatkan AI dalam meningkatkan produktivitas sehari-hari.

Dibalik kesuksesan AI dalam menjangkau semakin banyak audiens, tersimpan pula kontra yang masih disuarakan hingga sekarang. Kelompok ini khawatir AI akan sepenuhnya menggantikan pekerjaan manusia, hingga memengaruhi kondisi ekonomi global dan pasar tenaga kerja. 

Survei Populix pada 2024 lalu mengungkapkan bahwa 60% responden Indonesia khawatir dengan ancaman AI, baik dari segi keamanan maupun stabilitas pekerjaan. Menurut WEF, banyak pekerjaan yang diprediksi bakal  menghilang akibat AI, mulai dari pekerjaan yang berkaitan dengan teknologi (software engineer, data analyst, dan lain-lain), pekerjaan di media (penulis, jurnalis, kreator konten), pekerja keuangan, desainer grafis, hingga guru.

Tidak hanya dari stabilitas profesi, dampak penggunaan AI terhadap lingkungan juga banyak dipertanyakan. Menurut laporan Google dalam Google Environmental Report 2024, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan perusahaan mesin pencari raksasa itu mencapai 14,3 juta ton ekuivalen karbon dioksida (Mt CO2eq) pada 2023, jumlah ini meningkat 48% dibanding 2022, menjadi yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir.

Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Google terus naik | GoodStats
Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Google terus naik | GoodStats

Menurut Google, kenaikan ini utamanya disebabkan oleh peningkatan konsumsi energi yang digunakan untuk pusat data dan emisi dari rantai pasok. Google juga mengakui bahwa integrasi kecerdasan artifisial dalam produk-produknya membuat pengurangan emisi menjadi tantangan tersendiri. Hal ini didorong oleh naiknya permintaan energi untuk komputasi AI dan emisi yang terkait peningkatan investasi infrastruktur teknis.

Contoh nyatanya, penelitian dari Alex de Fries, akademisi asal Belanda mengungkapkan bahwa konsumsi energi listrik untuk ChatGPT jauh lebih tinggi dibandingkan Google Search. ChatGPT rata-rata membutuhkan 2,9 Wh listrik untuk menyelesaikan 1 perintah, sedangkan Google Search membutuhkan 0,2 Wh per perintah, jauh lebih rendah ketimbang ChatGPT.

Kendati demikian, laporan International Monetary Fund (IMF) menyebutkan bahwa keuntungan ekonomi dari kecerdasan buatan ini bakal meningkatkan output ekonomi global hingga 0,5% per tahun pada 2025 hingga 2030. Potensi kenaikan ini juga melebihi emisi karbon yang ditimbulkan dari AI. Meski begitu, bukan berarti warga bisa menutup mata terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan AI.

Menurut IMF, kebutuhan listrik global akan melonjak 3 kali lipat menjadi sekitar 1.500 TWh pada 2030 akibat penggunaan AI. Besaran tersebut setara dengan konsumsi listrik di India saat ini. Tidak hanya itu, peningkatan adopsi AI juga bakal meningkatkan kumulatif emisi gas rumah kaca sebesar 1,2% hingga 2030

United Nations Environment Programme (UNEP) juga mengungkapkan kekhawatiran yang sama. Menurutnya, infrastruktur yang menopang pusat data AI saat ini masih menggunakan energi yang kebanyakan bersumber dari bahan bakar fosil. Hal ini bisa meningkatkan risiko global warming.

Pada akhirnya, dampak lingkungan AI sangat dipengaruhi oleh pola pemakaiannya. Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment menyebutkan bahwa AI sejatinya bisa menurunkan emisi karbon jika teknologinya dimanfaatkan untuk membantun teknologi minim karbon di berbagai sektor penting seperti pangan, energi, dan transportasi.

“Namun, kekuatan pasar semata tak cukup untuk mendorong pemanfaatan AI untuk kebaikan iklim. Pemerintah, perusahaan teknologi, dan sektor energi harus memainkan peran aktif dalam memastikan AI dimanfaatkan sesuai tujuan, adil, dan berkelanjutan.” ujar peneliti kebijakan Grantham, Roberta Pierfederici, mengutip Reuters.

Baca Juga: Ini Dia Situs AI Terpopuler 2025

Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor

Konten Terkait

Sebanyak 80 Ribu Transaksi di SPKLU Tercatat Saat Mudik Lebaran 2025

Kenaikan penggunaan kendaraan listrik menjadi pendorong meningkatnya transaksi di SPKLU saat mudik Lebaran 2025.

5 Strategi Gamer Indonesia Dapat Cuan Besar dari Game Free Fire!

Dari menjual diamond hingga menjadi konten kreator, berikut lima strategi yang dapat diterapkan untuk mendapatkan cuan besar dari Free Fire.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook