Fenomena #desperate yang populer di LinkedIn mencerminkan tantangan gen Z dalam mencari pekerjaan dengan persaingan ketat di pasar kerja. Ditambah lagi dengan tuntutan pengalaman kerja tinggi yang memperparah situasi.
Menurut survei dari Populix, sebanyak 69% gen Z di Indonesia menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Survei ini dilakukan pada Juni 2024 dengan melibatkan 1.330 responden pencari kerja.
Banyak pencari kerja muda mengalami kesulitan dalam memasuki dunia kerja karena tingginya persyaratan pengalaman. Di sisi lain, kemajuan otomatisasi dan teknologi telah menggantikan beberapa pekerjaan dengan mesin algoritma, membuat gen Z semakin sulit menemukan pekerjaan.
Selain itu, munculnya platform pekerjaan online dan globalisasi meningkatkan persaingan, sehingga gen Z harus bersaing tidak hanya dengan rekan sebayanya di lokal, tetapi dengan kandidat di seluruh dunia untuk posisi tertentu.
Data dari survei menunjukkan bahwa 63% pencari kerja merasa syarat pengalaman yang dibutuhkan terlalu tinggi, 51% mengeluhkan persaingan ketat, 49% merasa kurang memiliki koneksi, 30% menganggap keterampilan yang dibutuhkan berlebihan, dan 20% merasa gaji yang ditawarkan kurang menarik.
Mayoritas perusahaan memprioritaskan kandidat dengan pengalaman kerja relevan, hal ini menciptakan dilema bagi gen Z yang baru memulai karir. Mereka terjebak dalam siklus di mana pengalaman menjadi syarat, tetapi tidak ada kesempatan nyata untuk mendapatkan pengalaman pertama yang dibutuhkan.
Banyak perusahaan menetapkan kriteria minimal 2-3 tahun pengalaman kerja, sehingga membuat lulusan baru sulit bersaing dengan kandidat yang lebih berpengalaman.
Fenomena #desperate menjadi sebuah simbol ketidakpastian yang dirasakan oleh generasi muda, menyoroti tekanan psikologis dan emosional muncul akibat pencarian kerja yang sulit.
Tagar Desperate: Ekspresi Frustasi Gen Z
Pengguna LinkedIn sudah akrab dengan #opentowork yang sering digunakan di foto profil. Kini, ada tren baru dengan penggunaan #desperate, diciptakan oleh Courtney Summer Myers, terinspirasi dari pengalamannya yang sulit mendapatkan pekerjaan selama lebih dari 10 bulan.
"LinkedIn adalah platform yang dibuat untuk berjejaring dan terhubung dengan orang lain, dan kami melakukannya karena itu akan membantu kami dalam beberapa hal," kata Courtney Summer Myers kepada Fortune, dikutip dalam Detikedu.
Myers, seorang desainer berusia 28 tahun, di-PHK pada November 2023 dan sejak saat itu mengirimkan sekitar 30 lamaran kerja setiap hari tanpa mendapatkan pekerjaan.
Sama halnya dengan Hanna McFadyn, 22 tahun, mengikuti tren tagar #desperate yang diunggahnya di LinkedIn yang menyatakan telah melamar 20 pekerjaan per hari setelah meninggalkan pekerjaan jarak jauhnya.
Terlepas dari itu, Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI) Ivan Taufiza, menjelaskan bahwa penggunaan tagar serupa sudah terjadi di Indonesia, terutama sejak Covid-19.
Namun, berbeda dengan pencari kerja di luar negeri lebih lugas dalam mengekspresikan keputusan mereka, Ivan, mengatakan bahwa pelamar di Indonesia cenderung lebih halus dalam menyampaikan pesan tersebut.
"Kalau di luar negeri, di Eropa, di US, itu kan lebih straight forward, lebih langsung begitu. Di Indonesia kan masih sangat halus, masih pakai simbol-simbol. Tapi prinsipnya sama (menunjukkan sangat memerlukan pekerjaan),"pungkas Ivan, dikutip dari Detikfinance.
Pelamar di Indonesia sering menggunakan frasa seperti "kalau ada lowongan, tolong dikabarkan" pada profil situs pencari kerja mereka untuk menunjukkan kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Tanggapan terhadap Tagar di LinkedIn
Merespons tren ini, Managing Partner Inventure Yuswohady, melihat pengguna banner #desperate sebagai bentuk kejujuran dari gen Z dalam mengekspresikan kondisi mereka saat ini.
"Ngapain harus ditutup-tutupi dan kita malu, kan ini menyangkut nasib generasi, gitu kan. Sehingga mereka, menurut saya, menjadikannya bentuk perlawanan terhadap kondisi sosial yang tidak menguntungkan bagi generasi ini," ucapnya pada Detikedu.
Yuswohady juga menambahkan, jika gen Z tidak menyuarakan perasaan “desperate” ini, maka takkan ada yang tahu soal tekanan yang dirasakan gen Z. Tagar ini menjadi gerakan untuk memprotes betapa sulitnya mencari pekerjaan.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa tagar ini bukan hanya mengungkapkan frustasi, tetapi menciptakan dialog yang konstruktif antara pencari kerja, perusahaan, dan pemerintah. Harapannya tagar ini menjadi sinyal bagi semua pihak untuk memperhatikan kebutuhan generasi muda.
Baca Juga: Simak! Tingkat Pengangguran Indonesia dalam 5 Tahun Terakhir
Penulis: Ucy Sugiarti
Editor: Editor