PT Sri Rejeki Isman (Sritex) merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, baru-baru ini menjadi sorotan publik karena mengalami kebangkrutan, dampaknya meluas terutama terhadap ribuan tenaga kerja dan perekonomian lokal. Pemerintah mengambil langkah tegas untuk menangani permasalahan ini.
Kasus pailit ini diputuskan oleh Pengadilan Niaga Semarang melalui perkara bernomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg, mencakup juga beberapa anak perusahaan Sritex, seperti PT Sinar Pantja Djaja dan PT Bitratex Industries.
Penyebab utama kebangkrutan Sritex adalah kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban pembayaran terhadap kreditur utamanya, PT Indo Bharat Rayon, meski sebelumnya sudah ada kesepakatan homologasi sejak 25 Januari 2022 lalu.
Dengan adanya keputusan ini, PT Indo Bharat Rayon, meminta agar status pailit resmi diberlakukan karena Sritex dianggap tidak berhasil memenuhi komitmennya dalam perjanjian tersebut.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri, mengatakan bahwa Kemnaker telah meminta Sritex dan anak perusahaanya untuk memastikan pembayaran hak-hak pekerja.
Kemenaker menginstruksikan pihak Sritex dan anak perusahaannya untuk menunda pemutusan hubungan kerja (PHK) sampai ada putusan final dari Mahkamah Agung (MA). Hal ini dimaksudkan agar karyawan yang terdampak tetap mendapat kepastian hak mereka.
Menurutnya, penting bagi manajemen dan Serikat Pekerja (SP) untuk tidak mengganggu stabilitas perusahaan dan untuk bersama-sama mencari langkah strategis bagi kedua pihak, meskipun telah dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Niaga Semarang.
“Kemnaker meminta kepada PT Sritex dan anak-anak perusahaannya yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga agar tidak terburu-buru melakukan PHK kepada pekerjaannya, sampai dengan adanya putusan dari MA,” ungkap Indah pada Tirto.
Baca Juga: Kasus PHK di Indonesia Tembus 52 Ribu per September 2024
Asal Mula Gugatan Pailit PT Sritex yang Memengaruhi Perekonomian
Direktur Utama PT Sritex Iwan Kurniawan Lukminto, menjelaskan bahwa keputusan pailit terjadi ketika perusahaan memasuki fase penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Perusahaan tekstil Sritex yang berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah, mengalami kesulitan dalam membayar utang akibat adanyanya pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir tiga tahun sehingga menyebabkan penurunan daya beli masyarakat.
"Di situ kami melalui proses yang cukup panjang, utang-utang yang perusahaan kami punya ini mempunyai satu kesepakatan yaitu perjanjian homologasi atau perjanjian pembayaran utang," kata Iwan, dikutip dari Tempo.
"Istilahnya kalau yang utang misalnya 5 tahun, lalu diperpanjang menjadi 7 tahun, yang utangnya 6 tahun diperpanjang menjadi 9 tahun. Jadi bayarnya diberikan kesempatan waktu," sambungnya.
Iwan menjelaskan bahwa awal perjanjian perdamaian telah disetujui oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang. Namun, salah satu pihak kurang bertanggung jawab mengajukan tuntutan untuk membatalkan perjanjian homologasi ini.
Sebagai informasi, saat ini Sritex memiliki sekitar 50.000 karyawan di seluruh grup. Tentu saja bangkrutnya PT Sritex memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian lokal, sebab penyerapan tenaga kerja menjadi salah satu pilar utama pada ekonomi setempat.
Kebangkrutan Sritex tidak hanya berdampak pada ribuan karyawan, tetapi juga pada perekonomian Sukoharjo secara keseluruhan. Sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, Sritex berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sukoharjo, Jawa Tengah.
Menurut data BPS, antara 2019-2023, mencatat bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ADHB Sukoharjo pada 2019 mencapai Rp36,95 triliun. Namun, pada 2020, turun menjadi Rp36,89 triliun akibat adanya pandemi Covid-19.
Kondisi kembali membaik pada 2021, dengan meningkat menjadi Rp38,99 triliun dan terus tumbuh hingga mencapai Rp46,52 triliun pada 2023.
Kebangkrutan Sritex dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi, terutama karena sekitar 50.000 karyawan bergantung pada perusahaan tekstil ini sebagai sumber utama penghasilan mereka.
Jika Sritex benar melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah besar, dampak tersebut akan dirasakan langsung oleh masyarakat Sukoharjo. Adanya PHK ini bisa menurunkan daya beli masyarakat setempat dan memperlambat pemulihan ekonomi lokal.
Selain itu, banyak usaha kecil dan menengah yang bergantung pada rantai pasok Sritex, yang kemungkinan juga akan berdampak pada penurunan pendapatan karena menurunnya jumlah permintaan produksi.
“PT Sritex sendiri saat ini menjadi tumpuan hidup ribuan para pekerja dan banyak orang dari berbagai sektor, seperti pelaku ekonomi masyarakat warung makan, tukang ojek di sekitarnya juga keluarga dari pekerja pabrik itu,” ungkap Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Provinsi Jawa Tengah, pada RRI.
Berbagai pihak, termasuk pemerintah, kini tengah mencari solusi untuk dapat meminimalkan dampak sosial-ekonomi dari adanya kasus pailit Sritex, upaya ini bertujuan menjaga stabilitas industri tekstil di Sukoharjo yang sangat bergantung pada keberadaan Sritex.
Intervensi Prabowo dengan Melibatkan Empat Menteri
Menanggapi adanya kebangkrutan yang terjadi di Sritex, Prabowo bergerak hingga mengerahkan empat kementerian. Keempat kementerian tersebut yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian Tenaga Kerja.
“Presiden Prabowo sudah memerintahkan Kementerian Perindustrian, Kemenkeu, Menteri BUMN. dan Menteri Tenaga Kerja untuk segera mengkaji beberapa opsi dan skema untuk menyelamatkan Sritex,” ungkap Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita.
Agus juga menekankan bahwa prioritas pemerintah adalah melindungi 50.000 karyawan Sritex dari pemulihan PHK.
"Pemerintah akan segera mengambil langkah-langkah agar operasional perusahaan tetap berjalan dan pekerja bisa diselamatkan dari PHK. Opsi dan skema penyelamatan ini akan disampaikan dalam waktu secepatnya, setelah empat kementerian selesai merumuskan cara penyelamatan," tutur Agus Gumiwang.
Namun, manajemen Sritex juga menyadari bahwa kebangkrutan ini dapat menyebabkan efek domino pada rantai pasokan serta berdampak pada usaha kecil dan menengah (UKM) yang bergantung pada aktivitas bisnis perusahaan.
Sritex telah beroperasi selama 58 tahun di industri tekstil dan memiliki peran penting dalam ekonomi lokal dan industri tekstil nasional. Kelangsungan bisnisnya tidak hanya krusial bagi kreditur dan pelanggan, tetapi bagi pemasok dan mitra lokal yang telah bekerja sama lama.
Selain itu, pailitnya Sritex dapat memberikan dampak signifikan pada industri tekstil dan garmen di Indonesia, mengingat perannya sebagai salah satu pemain utama di sektor tersebut. Kebangkrutan ini berpotensi mengurangi pasokan tekstil yang dapat memicu kenaikan harga akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan.
Dampak ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor dan berisiko mengakibatkan kerugian besar. Sritex dinilai sebagai perusahaan besar yang memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia.
Oleh karena itu, untuk terus berkontribusi pada perkembangan industri tekstil di Indonesia di masa mendatang, Sritex memerlukan dukungan dari pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya.
Baca Juga: Sepatu Bata Bangkrut, Rugi Lebih dari Rp100 Miliar
Penulis: Ucy Sugiarti
Editor: Editor