Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan rencana keuangan tahunan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merencanakan defisit anggaran sebesar 2,53% terhadap nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada RAPBN 2025.
Defisit anggaran merupakan kondisi di mana pembelanjaan/pengeluaran pemerintah lebih besar dibandingkan pendapatan/penerimaan pemerintah. Secara sekilas, kebijakan tersebut dirasa “merugikan” negara, namun sebenarnya kebijakan tersebut memiliki tujuannya tersendiri. Menurut Elisabeth & Sugianto (2024), kebijakan defisit anggaran dipilih ketika tujuan makro ekonomi adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga pemerintah akan melakukan banyak pengeluaran (ekspansif). Sebaliknya, apabila tujuan dari anggaran adalah mengendalikan laju pertumbuhan ekonomi maka pemerintah akan mengurangi jumlah pengeluaran (kontraktif).
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menerapkan kebijakan defisit anggaran. Menurut data dari Trading Economics, terdapat 149 negara yang menerapkan kebijakan defisit anggaran. Defisit APBN Indonesia tahun 2023 berada di angka 1,61%, angka tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Bahkan di antara semua negara G20, Indonesia menjadi negara dengan defisit anggaran terkecil keenam.
Pertumbuhan Defisit Anggaran Indonesia
Meskipun kebijakan defisit anggaran dipilih untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, defisit anggaran tetap harus dijaga agar tidak melampaui batas aman. Kebijakan mengenai defisit anggaran telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Di dalam undang-undang tersebut telah dinyatakan bahwa defisit anggaran dibatasi pada angka 3% dari PDB, dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB.
Berdasarkan data dari Nota Keuangan beserta RAPBN tahun 2024 dan 2025, sepanjang tahun 2019-2023, Kementerian Keuangan bersama pemerintah pusat dapat menahan defisit anggaran di bawah 3% dari PDB, kecuali pada tahun 2020 dan 2021. Defisit anggaran yang melebar pada tahun 2020 dan 2021 merupakan implikasi dari pandemi Covid-19. Penanganan pandemi Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional cukup berdampak signifikan pada defisit APBN tahun 2020 dan 2021.
Relaksasi batasan defisit anggaran di saat pandemi Covid-19 diatur dalam Undang-Undang nomor 2 Tahun 2020, untuk mengatur stabilitas sistem keuangan di tengah pandemi Covid 19. Di dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang nomor 2 Tahun 2020, pemerintah menargetkan relaksasi batasan defisit anggaran di atas 3% akan berlaku paling lama pada akhir tahun anggaran 2022, dan sejak tahun 2023 besaran batas defisit anggaran akan kembali menjadi 3% dari PDB.
Kementerian Keuangan bersama pemerintah pusat telah berhasil memenuhi target tersebut. Setelah pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir, aktivitas perekonomian kembali pulih. Pada tahun 2022 dan 2023, defisit anggaran menurun ke angka Rp460,4 triliun (2,35% dari PDB), dan Rp337,3 triliun (1,61% dari PDB).
Rencana Defisit RAPBN 2025 dan Rencana Pembiayaan Anggaran
Berdasarkan Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2025, defisit anggaran akan direncanakan berada di angka 2,53% dari PDB atau sebesar Rp616,2 triliun. Secara rasio terhadap PDB, angka defisit yang direncanakan sedikit menurun dari outlook tahun 2024 yang berada di angka 2,7% dari PDB. Secara nominal, defisit anggaran yang direncanakan sedikit meningkat dari outlook tahun 2024 yang berada di angka Rp609,7 triliun.
Pembiayaan anggaran merupakan kebijakan fiskal yang dilakukan untuk menutupi defisit anggaran. Berdasarkan Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2025, pembiayaan anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran pembiayaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan pembiayaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Di dalam Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2025, pemerintah merencanakan pemasukan untuk pembiayaan anggaran melalui pembiayaan utang dan pembiayaan lainnya. Pembiayaan utang bersumber dari Surat Berharga Negara dan Pinjaman (dalam dan luar negeri). Pembiayaan lainnya bersumber dari saldo anggaran lebih dan hasil pengelolaan aset.
Berdasarkan Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2025, proporsi pembiayaan utang akan bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 82,82% (Rp642,6 triliun), pinjaman luar negeri sebesar 16,51% (Rp128,1 triliun), dan pinjaman dalam negeri sebesar 0,67% (Rp5,2 triliun). Untuk pembiayaan menggunakan saldo anggaran lebih, akan menunggu tahun anggaran 2024 berakhir.
Untuk sumber pembiayaan dari hasil pengelolaan aset, ditargetkan akan mencapai angka Rp262 miliar. Pembiayaan dari hasil pengelolaan aset merupakan hasil penjualan atau penyelesaian atas aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan eks Bank Dalam Likuidasi (BDL).
Baca Juga: Simak Daftar Kementerian dengan Alokasi Anggaran Terbesar di RAPBN 2025
Penulis: Bintang Ridzky Alfathi
Editor: Editor