Saat ini, dunia tengah menghadapi triple planet challenges, yakni tantangan perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi. Krisis iklim menjadi ancaman besar bagi eksistensi kehidupan di bumi.
Dampak dari perubahan iklim tentu sangat merugikan bagi perekonomian global, termasuk Indonesia. Jika isu perubahan iklim tidak ditangani dengan efektif, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dapat berkurang hingga 10% pada tahun 2025.
“Penurunan PDB 10% ini merupakan ancaman besar yang akan mempengaruhi perekonomian, pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja, terutama bagi generasi muda,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan pers, Jumat, (6/9/2024) mengutip RRI.
Perubahan iklim, terutama kenaikan suhu global dapat memicu bencana alam, merusak infrastruktur, serta menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik.
“Penanganan perubahan iklim membutuhkan biaya besar, sehingga sektor swasta harus berperan aktif bersama pemerintah,” lanjut Sri Mulyani.
Indikator Penilaian
Climate Change Performance Index (CCPI) merupakan instrumen yang dirancang untuk memastikan transparansi dalam kebijakan iklim baik di tingkat nasional maupun internasional. Kerangka kerja CCPI dipakai untuk menilai kinerja iklim dari 63 negara serta Uni Eropa.
Metode penilaian CCPI ini melibatkan evaluasi 63 negara dan Uni Eropa yang bersama-sama bertanggung jawab atas lebih dari 90% emisi gas rumah kaca global untuk menilai kriteria standar dari empat kategori yaitu Emisi Gas Rumah Kaca (40%), Energi Terbarukan (20%), Penggunaan Energi (20%), dan Kebijakan Iklim (20%).
Peringkat Indonesia dalam Catatan CPPI Tahun ke Tahun
Pada tahun 2021, Indonesia sempat mencatat prestasi terbaiknya dengan menduduki peringkat ke-24 dalam hal kinerja penanganan iklim, naik sebanyak 15 posisi dari tahun 2020 yang berada pada peringkat ke-39.
Namun, pada tahun 2022, peringkat Indonesia kembali turun menjadi posisi ke-27, yang kemudian naik 1 posisi menjadi ke-26 pada tahun 2023. Setelahnya, peringkat Indonesia terus merosot jika dibandingkan dengan 63 negara lain serta Uni Eropa dalam aspek penanganan krisis iklim yang sedang berlangsung.
Pada tahun 2025, Indonesia turun 6 peringkat menjadi urutan ke-42 dalam catatan CCPI, yang sebelumnya di tahun 2024 Indonesia berada pada peringkat ke-36.
Berdasarkan informasi dari CCPI, Indonesia mendapatkan klasifikasi “Medium” dalam indikator Energi Terbarukan, tetapi memperoleh kategori “Low” dalam Emisi Gas Rumah Kaca, Penggunaan Energi, dan Kebijakan Iklim. CCPI menyoroti bahwa kebijakan iklim Indonesia yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC) belum sepenuhnya sejalan dengan perjanjian Paris, dan lebih mengandalkan penghitungan yang bersifat business-as-usual.
Kebijakan iklim yang diambil oleh Indonesia menciptakan gambaran yang rumit dan sering kali bertentangan karena terdapat ketegangan yang jelas antara upaya bertahap Indonesia untuk mendorong energi terbarukan, ketergantungan yang terus berlanjut pada bahan bakar fosil, serta emisi besar yang dihasilkan akibat deforestasi.
Saat ini, Indonesia berada dalam tahap transisi menuju ekonomi rendah karbon yang masih terbatas dengan sedikit perkembangan nyata di berbagai sektor penting dan masih mengandalkan pembangkit listrik serta industri batu bara. Permintaan minyak sawit juga menjadi faktor penyebab utama di balik deforestasi yang meluas dan emisi dari sektor penggunaan lahan.
Menurut penilaian Climate Action Tracker, Indonesia secara keseluruhan terklasifikasi dalam kategori “Sangat Tidak Memadai” dalam penanganan perubahan iklim. Ini menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam fase kritis terkait kebijakan energi dan iklimnya.
Program pemerintah yang bertujuan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemandirian melalui inisiatif lumbung pangan guna mengurangi ketergantungan pada impor pangan, justru menimbulkan konsekuensi lingkungan yang serius termasuk potensi deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan penghilangan masyarakat adat.
Kebijakan ini menjadi penyebab Indonesia mengalami lonjakan emisi yang cukup besar menjelang tahun 2030 dan belum menempatkannya pada lintasan rendah karbon yang sesuai dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan yang melimpah.
Indonesia perlu untuk menyelaraskan ambisi pertumbuhan ekonominya dengan upaya mengurangi emisi serta melindungi hutan dan keanekaragaman hayatinya, mulai dari menerapkan kebijakan iklim yang lebih ketat, memanfaatkan dukungan dari internasional, dan berkomitmen terhadap transisi secara lebih adil.
Baca Juga: Menurun, Segini Skor Indonesia Dalam Menangani Perubahan Iklim