Perdagangan satwa liar secara ilegal di dunia maya telah mencapai angka mencengangkan, dengan lebih dari 70 ribu iklan penawaran terdeteksi di media sosial, terutama Facebook, selama 2020–2024. Garda Animalia mencatat bahwa satwa seperti burung beo, kakatua, elang, kucing hutan, owa, dan siamang menjadi target utama eksploitasi, didorong oleh tren pemeliharaan eksotis yang dipopulerkan influencer dan kemudahan transaksi daring.
“Platform digital kini telah menjelma menjadi ruang subur bagi pelaku kejahatan lingkungan,” ungkap Tim Pendataan Garda Animalia saat dihubungi GoodStats, Jumat (11/4/2025).
Fenomena ini diperparah oleh lemahnya regulasi digital, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang belum secara eksplisit melarang perdagangan satwa liar di platform daring. Data dari 2018 hingga 2023 menunjukkan terdapat lebih dari 18.000 iklan satwa dilindungi, dengan sekitar 82.000 individu kakatua hilang dari habitatnya, melibatkan lebih dari 6.000 akun pembeli. Ancaman ini tidak hanya menggerus keanekaragaman hayati, tetapi juga menormalisasi eksploitasi satwa melalui konten sensasional di media sosial.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mengklasifikasikan perdagangan satwa liar sebagai emerging transnational crime, menegaskan perlunya pendekatan hukum lintas sektor. Tanpa intervensi segera, satwa liar Indonesia, yang merupakan bagian penting dari warisan ekologis global, terancam punah di tangan pasar ilegal yang kian tak terkendali. Edukasi publik dan penegakan hukum yang lebih tegas menjadi urgensi untuk membalikkan tren ini.
Baca Juga: Segelintir Kabar Satwa Liar di Indonesia
Satwa Liar Masih Kehilangan Habitat
Kehilangan habitat akibat deforestasi, ekspansi pertanian, dan pembangunan infrastruktur menjadi pendorong utama satwa liar masuk ke pasar perdagangan ilegal. Hutan-hutan primer, rumah bagi spesies seperti owa, siamang, dan kucing hutan, terus menyusut, memaksa satwa keluar dari lingkungan alaminya dan menjadi sasaran empuk perburuan.
“Permintaan pasar pada perdagangan burung sangat dipengaruhi tren pemeliharaan yang beredar di masyarakat,” ujar Garda Animalia, menyoroti bagaimana satwa yang kehilangan habitat lebih mudah dieksploitasi.
Tren pemeliharaan satwa eksotis, yang dipicu oleh konten media sosial, memperburuk situasi. Video yang menampilkan monyet ekor panjang disiksa untuk konten sensasional atau burung eksotis seperti Psittacidae yang dipamerkan sebagai hewan peliharaan menciptakan persepsi keliru bahwa satwa liar mudah dirawat.
“Media sosial secara tidak langsung telah menormalisasi kepemilikan satwa liar,” ungkap Tim Pendataan Garda Animalia, menekankan bagaimana konten hiburan tanpa konteks konservasi memicu lonjakan permintaan pasar.
Selain itu, kurangnya kesadaran publik tentang risiko zoonosis dari memelihara satwa liar turut memperparah masalah. Banyak yang tidak menyadari bahwa interaksi dengan satwa liar dapat menularkan penyakit berbahaya. UNODC menegaskan bahwa perdagangan satwa liar tidak hanya ancaman ekologis, tetapi juga keamanan global, sehingga memerlukan pendekatan lintas negara. Edukasi dan perlindungan habitat menjadi kunci untuk mengurangi kerentanan satwa terhadap eksploitasi.
Tren Perdagangan Satwa Liar
Perdagangan satwa liar di media sosial, khususnya Facebook, menunjukkan pola fluktuatif namun mengkhawatirkan selama 2020–2024, dengan burung beo (Psittacidae) mendominasi pasar ilegal. Pada 2020, iklan kakatua mencatat 1.244 postingan, elang 809, kucing hutan 773, dan beo hanya 122, sementara owa dan siamang masing-masing 68.
Tahun berikutnya, 2021, menyaksikan lonjakan dramatis iklan beo menjadi 9.420, diikuti elang 3.277 dan kakatua 1.946, menandakan meningkatnya minat terhadap burung eksotis.
“Tren terbaru perdagangan ilegal satwa liar di media sosial Facebook pada tahun 2024 adalah Psittacidae dengan 3.496 iklan,” tutur Garda Animalia.
Puncak perdagangan terjadi pada 2022, dengan iklan beo mencapai 14.280, kakatua 7.206, dan elang 3.479, sementara kucing hutan, owa, dan siamang juga meningkat. Meski pada 2023 iklan elang memimpin dengan 5.371 dan beo turun ke 10.730, tahun 2024 menunjukkan beo tetap dominan dengan 3.496 iklan, diikuti elang 1.752 dan kakatua 1.488. Selain Facebook, Garda Animalia mencatat adanya aktivitas perdagangan di platform seperti TikTok, yang kini mulai dipantau karena munculnya akun-akun yang memasarkan satwa liar.
Pemantauan juga dilakukan pada e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, OLX, dan Bukalapak, meskipun tidak seintensif di Facebook.
“Pendataan pada e-commerce tidak seoptimal yang dilakukan pada platform Facebook,” ungkap Garda Animalia.
Fluktuasi ini mencerminkan respons pasar terhadap tren pemeliharaan dan kemudahan promosi daring, tetapi juga menunjukkan tantangan dalam memantau berbagai platform digital secara menyeluruh.
Dampak Media Sosial dan Influencer
Media sosial telah menjadi katalis utama dalam memicu perdagangan satwa liar, dengan konten influencer yang memamerkan satwa eksotis sebagai hewan peliharaan memperburuk situasi. Video viral yang menampilkan primata mengenakan pakaian, burung beo berbicara, atau kucing besar di rumah sering kali disajikan tanpa konteks konservasi, menciptakan ilusi bahwa satwa liar adalah hewan peliharaan ideal.
“Ketika hewan-hewan eksotis ditampilkan sebagai makhluk lucu, banyak orang menjadi tergoda untuk memilikinya,” jelas Tim Pendataan Garda Animalia.
Influencer dengan jangkauan audiens luas memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik. Ketika mereka memamerkan satwa liar sebagai gaya hidup, permintaan terhadap satwa eksotis atau spesies serupa dengan harga lebih terjangkau melonjak. Namun, Garda Animalia menegaskan bahwa influencer juga bisa menjadi agen perubahan.
“Dengan menyampaikan pesan edukatif dan bekerja sama dengan organisasi konservasi, mereka dapat berkontribusi dalam membalik tren ini,” tuturnya.
Kemudahan akses transaksi daring, seperti melalui grup jual beli di Facebook, turut memperparah masalah.
“Kemudahan akses jual beli melalui laman atau grup Facebook memudahkan pembeli dan penjual untuk berkomunikasi meskipun dari jarak jauh,” tambah Garda Animalia.
Kerahasiaan transaksi melalui pihak ketiga, seperti rekening bersama, membuat pelacakan semakin sulit. Solusi jangka panjang memerlukan kebijakan platform yang lebih tegas, seperti fitur pelaporan cepat dan penghapusan konten ilegal, untuk mengurangi dampak negatif media sosial.
Payung Hukum dan Solusi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang KSDAHE menjadi langkah progresif dengan menetapkan pidana minimal tiga tahun, konsep ganti rugi ekologis, dan pengakuan alat bukti elektronik untuk menangani kejahatan satwa liar di ranah digital. Namun, implementasinya masih lemah, terutama karena kurangnya kapasitas aparat penegak hukum dalam memantau ruang digital.
“UU ITE masih belum mempertimbangkan kejahatan terhadap satwa liar di ruang digital,” ungkap Garda Animalia lagi.
Penerapan hukum selama ini lebih berfokus pada perilaku individu, bukan dampak ekologis, seperti terlihat dari disparitas putusan hakim berdasarkan UU KSDAHE lama. Garda Animalia mengusulkan pendekatan hukum multidoor yang mengintegrasikan UU Konservasi, UU ITE, UU Karantina Hewan, dan UU Kepabeanan untuk menutup celah hukum, terutama dalam kasus perdagangan lintas negara via platform seperti Facebook.
Solusi lain mencakup penguatan UU ITE dengan klausul larangan perdagangan satwa liar daring, peningkatan patroli siber, dan edukasi publik tentang risiko zoonosis serta dampak ekologis.
“Platform media sosial harus menerapkan kebijakan yang lebih tegas terhadap konten bermasalah,” tegas Tim Pendataan Garda Animalia.
Kolaborasi antara pemerintah, LSM, influencer, dan platform digital juga krusial untuk menciptakan ekosistem daring yang mendukung konservasi, memastikan satwa liar terlindungi baik di habitat alami maupun di layar gawai.
Baca Juga: 8 Negara Tujuan Ekspor Satwa Liar Indonesia
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor