Peran Budaya Patriarki dalam Memicu Kekerasan dalam Rumah Tangga

Korban kasus KDRT di 2024 mencapai 5.396 orang, budaya patriarki yang melekat menjadi salah satu penyebabnya.

Peran Budaya Patriarki dalam Memicu Kekerasan dalam Rumah Tangga Ilustrasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga | Freepik

Budaya patriarki turut berkontribusi dalam memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam masyarakat patriarki, laki-laki sering kali diposisikan sebagai pihak yang superior, sedangkan perempuan dianggap lebih rendah. Hal ini menciptakan ketidakadilan gender yang menormalisasi kekerasan.

“Akar permasalahannya budaya patriarki yang menganggap perempuan berkedudukan lebih rendah daripada laki-laki, subordinat,” tutur Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Eni Widiyanti, dikutip Antara.

Dalam sistem patriarki, kekerasan terhadap perempuan dipandang sebagai hal yang wajar, dimana laki-laki dianggap memiliki hak lebih besar dalam menentukan aturan rumah tangga, termasuk pada kekerasan.

Angka Kekerasan dalam Rumah Tangga Sangat Tinggi

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melalui Simfoni PPA 2024, kasus KDRT masih menjadi masalah serius di Indonesia.

Kekerasan Berdasarkan Tempat Kejadian | GoodStats
Kekerasan dalam rumah tangga paling sering terjadi berdasarkan tempat kejadian | GoodStats

Menurut laporan dari KemenPPPA, rumah tangga menjadi tempat dengan insiden kekerasan paling tinggi. Sepanjang 2024, sebanyak 7.099 perempuan dilaporkan menjadi korban kekerasan, dengan 5.396 korban mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 

Kasus KDRT di 2024 masih menjadi permasalahan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa dan Sumatra yang meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Aceh.

Provinsi Tertinggi Kasus Perempuan Alami KDRT di Indonesia | GoodStats
Pulau Jawa mendominasi kasus KDRT, tertingginya Jawa Barat sebanyak 871 korban | GoodStats

Pulau Jawa memiliki infrastruktur layanan pengaduan yang lebih baik, sehingga angka pengaduan kasus KDRT di provinsi ini tercatat lebih tinggi, seperti di Jawa Barat dengan 871 korban, Jawa Tengah dengan 817 korban, Jawa Timur dengan 797 korban, Aceh dengan 587 korban, dan Yogyakarta dengan 510 korban. 

“Dari segi wilayah, jumlah perempuan korban kekerasan yang melapor paling banyak berasal dari Pulau Jawa, provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Bisa jadi tingginya angka tersebut karena akses layanan dan organisasi sipil pengada layanan terbanyak di sini. Selain itu, infrastruktur seperti jalan raya, kendaraan dan jaringan internet memudahkan untuk melapor,” kata Kepala Biro Data dan Informasi Kemen PPPA, Sulistiyo Wibowo.

Baca Juga: Menilik Statistik Kekerasan Terhadap Perempuan pada Tahun 2022

Kasus Influencer Menjadi Korban KDRT Budaya Patriarki

Kekerasan dalam rumah tangga terus terjadi, seperti yang dialami oleh influencer Cut Intan Nabila, yang mengalami kekerasan fisik dari suaminya, Armor Toreador di Bogor, Jawa Barat.

Kasus ini telah menjadi perhatian publik setelah sebuah video kekerasan beredar di media sosial. Selain itu, Intan juga membagikan pengalaman KDRT yang dialaminya selama lima tahun bersama.

Pengalaman yang dirasakan oleh Intan menyadarkan masyarakat akan kuatnya pengaruh budaya patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga tetap ada, bahkan di kalangan pasangan muda sekalipun.

”Sedih, ya, melihat kasus-kasus seperti ini. Menurut saya, kasus yang menimpa influencer ini menunjukkan indikasi penting bahwa struktur penopang KDRT, yakni struktur patriarki, masih sangat kokoh di dalam masyarakat kita. Tidak heran jika kasus KDRT terus saja berulang,” ujar Nur Hasyim, pengajar sosiologi keluarga Universitas Islam Negeri Walisongo, mengutip Kompas.

Pendapat ini didukung oleh anggota Komnas Perempuan Imam Nahei yang menyatakan bahwa kasus KDRT tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi cara pandang rendah laki-laki terhadap perempuan.

"KDRT bukan persoalan ekonomi, bukan persoalan kelas, tetapi persoalan cara pandang laki-laki terhadap perempuan. Perspektif patriarki yang masih sangat kuat dalam budaya Indonesia," kata Imam Nahei dalam Antara.

KemenPPPA menegaskan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat ditoleransi, terutama jika terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat aman justru dilakukan oleh orang terdekat.

Oleh karena itu, penguatan hubungan suami istri perlu dimulai sejak dini. Pendidikan kesetaraan gender yang mengajarkan nilai-nilai saling menghargai harus ditanamkan pada generasi muda. Pengalaman Intan dapat menjadi pelajaran berharga untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.

Baca Juga: Mahasiswa Universitas Trunojoyo Jadi Korban Kekerasan oleh Pasangannya

Penulis: Ucy Sugiarti
Editor: Editor

Konten Terkait

“Anak Abah” Lebih Pilih Pram-Doel daripada RK-Suswono?

Mayoritas pendukung Anies lebih memilih pasangan Pram-Doel daripada RK-Suswono untuk pilkada mendatang.

Deretan Kecamatan Penghasil Susu Sapi di Boyolali

Boyolali, sebagai sentra penghasil susu, memiliki potensi besar yang sayangnya belum sepenuhnya terwadahi dengan baik.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook