Ratusan peternak dan pengepul susu sapi di Boyolali, Jawa Tengah menggelar aksi protes pada Sabtu (9/11) lalu. Aksi tersebut menyampaikan keresahan para pelaku usaha yang bergerak di bidang peternakan sapi perah karena adanya kebijakan terkait pembatasan penyerapan susu oleh Industri Pengolahan Susu (IPS).
Tak tanggung-tanggung, para partisipan aksi membawa susu dengan total 50 ribu liter yang jika diuangkan mencapai Rp400 juta. Susu tersebut digunakan untuk aksi mandi susu sebagai bentuk solidaritas terhadap sesama peternak sapi perah dan sebagiannya dibagikan gratis kepada warga sekitar.
Koordinator aksi, Sriyono Bonggol, menyampaikan problem yang menjadi sorotan utama. Ia mengatakan dari 140 ribu liter susu yang diolah peternak susu, hampir 30 ribu liter susu tidak terserap tiap harinya karena adanya pembatasan kuota oleh IPS. Akhirnya, hal tersebut berdampak besar karena seluruh kerugian yang harus ditanggung oleh peternak.
"Kalau seandainya (susu) tidak diambil, kasihan peternak itu akan berhenti dari dunia peternakan. Karena biaya untuk pakan (sapi), biaya untuk keluarga itu dihasilkan dari susu. Lha kalau susunya tidak terjual dan tidak terbayar karena dibuang ya otomatis mereka akan menyerah, berhenti dari sektor peternakan," ujar Sriyono pada Sabtu, (9/11) dilansir Detik.
Besaran Produksi Susu Segar di Indonesia
Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Boyolali, Lusia Diah Suciati, mengatakan ada 3 faktor mengapa IPS membatasi penyerapan susu, yaitu pemeliharaan yang tinggi, daya beli konsumen yang rendah, dan adanya perbaikan standar kualitas. Penyerapan susu lokal mulai berkurang sejak September lalu.
Melihat hal tersebut, ada korelasi dengan data temuan Badan Pusat Statistik (BPS). Produksi susu segar dalam skala nasional perlahan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada 2021, produksi yang dilakukan oleh peternak sapi perah mencapai 946.388,17 ton di seluruh Indonesia.
Tahun berikutnya, mengalami penurunan hingga 100 ribu dengan total 824.273,20. Terbaru, pada 2023, tercatat produksi susu segar mengalami penambahan yang lumayan dengan angka 837.223,20.
Senada dengan pernyataan Lusia, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS), Sonny Effendi menjelaskan pembatasan terpaksa dilakukan lantaran kualitas susu yang tidak sesuai dengan standar perusahaan. Adanya bahan-bahan tertentu yang terdapat dalam susu lokal sehingga tidak aman untuk dikonsumsi masyarakat.
"Sehingga enggak sesuai dengan standar food safety, keamanan pangan, sehingga enggak bisa diterima," kata Sonny di kantor Kementan, pada Senin (11/11) mengutip CNN Indonesia.
Respons Pemerintah Pusat Terkait Problematika
Dewan Persusuan Nasional (DPN) mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan regulasi, paling tidak dalam bentuk Peraturan Presiden atau Instruksi Presiden guna melindungi keberadaan dan kelanjutan produksi susu sapi dalam negeri.
Selain itu, DPN juga mendorong pemerintah untuk memberlakukan kembali kebijakan —yang sebelumnya pernah diterapkan pada era reformasi—Bukti Serap (BUSEP) yang mengatur rasio izin impor.
Melihat problem masif yang dialami peternak, Kementerian Pertanian (Kementan) akhirnya buka suara dengan mengatakan akan melakukan modifikasi regulasi yang menyatakan para pelaku usaha wajib menyerap susu dari peternak nasional pada Senin, (11/11) lalu.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman menjabarkan pihaknya sudah menyetujui, menandatangani, dan mengirim surat ke dinas peternak provinsi dan kabupaten untuk ditindaklanjuti. Ia berharap dengan adanya kebijakan tersebut akan berdampak positif secara signifikan pada para peternak nasional dalam memproduksi susu.
“Kami harapkan industri bersama pemerintah turun tangan untuk membina para peternak dan membantu meningkatkan kualitas susu dalam negeri. Ini sesuai dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang meminta pemerintah untuk hadir di tengah, industri dan peternak harus bisa tumbuh bersama," tuturnya di Kementan, Jakarta pada Senin, (11/11) melalui Bloomberg Technoz.
Impor Jadi Jalur Ninja Perbaikan Kualitas Susu?
Berkaitan dengan jumlah kuota penyerapan susu, susu impor juga menjadi salah satu kekhawatiran para peternak sapi perah di tanah air. Berdasarkan hasil catatan Kementan, kebutuhan susu segar di Indonesia mencapai 4,7 juta ton pada 2024.
Akan tetapi, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sebanyak 1 juta ton atau sama dengan 21% dari total kebutuhan. Sementara, 79% lainnya masih dikuasai oleh susu impor.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam menekan impor susu adalah dengan melakukan impor “sumber” nya. Adanya transformasi bentuk impor tersebut dilakukan guna mencapai kualitas susu yang sama bahkan lebih baik dari negara lainnya.
Kementan berencana melakukan impor 1 juta ekor sapi perah dalam lima tahun pada 2025-2029 untuk memenuhi kebutuhan susu segar di Indonesia dan juga mendukung program andalan yaitu makan bergizi gratis. Nantinya, sapi akan diimpor dari berbagai negara, seperti: Australia, Brasil, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Meksiko.
Populasi sapi perah yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia belum mencapai angka jutaan pada 2022 dengan akumulasi 507.075 ekor. Berdasarkan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan yang dipublikasikan Kementan, jumlah tersebut didominasi oleh 5 provinsi. Provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama dengan jumlah sapi perah mencapai 282.364 ekor.
Selanjutnya, Provinsi Jawa Barat memiliki 110.005 ekor sapi perah yang susunya akan dimanfaatkan. Beda tipis dengan sebelumnya, jumlah sapi perah yang terdapat pada Provinsi Jawa Tengah mencapai 101.288 ekor.
Selanjutnya berada di seberang Pulau Jawa, Provinsi Sumatera Utara memiliki 5.287 ekor sapi perah. Terakhir, D.I Yogyakarta masuk ke dalam daftar dengan total 3.265 ekor sapi perah.
Berdasarkan yang telah dipaparkan, pemerintah perlu sigap dalam melakukan implementasi aturan baru guna mengatasi permasalahan dengan segera. Selain itu, perlu dilakukan edukasi berupa penyuluhan hingga bimbingan pada peternak lokal terkait perbaikan kualitas susu tanpa tambahan kandungan bahan-bahan tertentu. Dengan demikian, produsen dapat menghasilkan susu yang bisa dikonsumsi dengan aman bagi masyarakat.
Penulis: Aisyah Fitriani Arief
Editor: Editor