Pengangguran di kalangan lulusan sarjana menjadi salah satu isu krusial dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Meskipun menempuh pendidikan tinggi dengan harapan mendapatkan peluang kerja, tetapi kenyataan menunjukan bahwa masih banyak lulusan sarjana yang kesulitan menemukan pekerjaan sesuai dengan kualifikasi.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, terdapat peningkatan yang signifikan dalam jumlah pengangguran di kalangan lulusan sarjana, dengan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,18%, meningkat dari 4,8% pada 2022.
"Berdasarkan data BPS pengangguran lulusan universitas naik dari 4,8% tahun 2022 menjadi 5,18% di tahun 2023," tutur Kepala Pusat penelitian dan Pengembangan Manusia, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Dr Said Mirza Pahlevi, dikutip dari Detik.
Namun, bila dilihat data secara keseluruhan, penyumbang terbesar pengangguran berada di kelompok lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang mencapai 9,31% di tahun 2023.
Tingkat lulusan sekolah menengah atas (SMA) berkontribusi sebesar 8,15%, sedangkan lulusan diploma mencapai 4,8%.
Kegagalan Link and Match Dorong Pengangguran pada Sarjana
Menurut Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI Ida Fauziah, tingginya pengangguran di Indonesia salah satunya disebabkan tidak adanya link and match antara perguruan tinggi dengan pasar kerja.
Justru kelompok pekerja saat ini lebih didominasi dari lulusan pendidikan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).
“Kelompok yang bekerja sebagian berpendidikan SMP ke bawah, justru yang menganggur lulus SMK, diploma, dan sarjana,” jelas Ida Fauziah, dikutip dari jurnal UGM.
Pengelola perguruan tinggi telah melakukan berbagai langkah, seperti merekrut pengajar dari kalangan praktisi, membuka program vokasi, dan menyediakan program magang. Namun, tetap saja masih banyak lulusan sarjana yang kesulitan bersaing di dunia kerja.
Selain itu, terdapat beberapa faktor lain yang bisa menjadi penyebab tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana, yaitu kalah dengan koneksi yang berkaitan dengan “the power of orang dalam”, faktor individu yang kurang proaktif mencari informasi pekerjaan, dan adanya sikap memilih-milih dalam bekerja.
Melihat adanya tantangan ini, perlu ada upaya lebih lanjut untuk dapat meningkatkan relevansi pendidikan tinggi dengan kebutuhan pasar, serta mendorong lulusan untuk lebih aktif dalam mencari peluang dan tidak terlalu memilih dalam menentukan karier mereka.
Baca Juga: Simak! Tingkat Pengangguran Indonesia dalam 5 Tahun Terakhir
Penulis: Ucy Sugiarti
Editor: Editor