Kekerasan di tempat kerja masih menjadi permasalahan serius di banyak negara, termasuk di Indonesia. Para pekerja sering kali dihadapkan pada kondisi yang tidak layak, mulai dari upah rendah dan jam kerja berlebihan.
Laporan dari International Labour Organization (ILO) pada 2022 mengungkapkan bahwa kekerasan di tempat kerja adalah permasalahan global yang berdampak pada jutaan pekerja, terutama di sektor informal dan industri kreatif.
Kasus Brandoville, sebuah studio kreatif di Indonesia, menjadi contoh konkrit kekerasan dalam industri kreatif. Kasus ini menarik perhatian publik lantaran munculnya laporan terkait jam kerja yang berlebihan, tidak diizinkan mengambil cuti, dan adanya tindakan intimidasi terhadap para karyawan.
Para karyawan yang menjadi korban melaporkan bahwa istri dari CEO Brandoville Studios, Cherry Lai, melakukan kekerasan fisik dan manipulasi mental dengan tindakan memaksa karyawan untuk menampar diri sendiri.
Selain itu, ada juga pemaksaan bagi karyawan untuk mengundurkan diri dan karyawan juga diharuskan menanggung sendiri biaya perjalanan dinas dan peralatan kerja. Kasus kekerasan ini telah terjadi sejak 2022 lalu, hal ini diketahui setelah polisi mendapatkan keterangan dari salah satu korbannya.
“Korban mengaku kekerasan yang dialaminya sejak 2022 sampai bulan Agustus 2024,” tutur Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres, Ajun Komisaris Besar Muhammad Firdaus, dikutip dari Tirto.
Hal ini tentu menjadi sorotan publik, di mana masalah eksploitasi yang digambarkan dalam laporan ILO ternyata memang benar adanya. Sektor dengan regulasi pengawasan yang kurang baik kerap menjadi tempat terjadinya pelanggaran hak pekerja dan eksploitasi.
Baca Juga: Keamanan Meningkat, Kurang dari 1% Penduduk Indonesia Alami Kekerasan
Jenis Kekerasan Brandoville Studios terhadap Karyawannya
Para karyawan di Brandoville mengalami kekerasan yang mencakup dimensi ekonomi dan fisik. Menurut laporan ILO, terdapat beberapa jenis kekerasan berdimensi ekonomi yang banyak terjadi di Indonesia.
Menurut laporan tersebut, kekerasan ekonomi di tempat kerja menjadi masalah yang cukup serius. Sebanyak 74,58% pekerja melaporkan bahwa mereka sering kali diharuskan menjalankan tugas di luar tanggung jawab dan menghadapi beban kerja yang tinggi.
Selain itu, 42,45% pekerja mengungkapkan bahwa mereka kerap diminta untuk bekerja larut malam atau di luar jam kerja resmi. Hal ini meningkatkan risiko kelelahan dan stres yang berpotensi berdampak negatif terhadap produktivitas dan kesehatan jangka panjang.
Lebih mengkhawatirkan lagi, sebanyak 33,09% pekerja melaporkan bahwa mereka dipaksa bekerja tanpa kepastian mengenai pembayaran gaji yang menimbulkan ketidakpastian finansial dan semakin memburuk situasi kerja yang tidak adil.
Kasus ini sama seperti yang dialami oleh karyawan dari Brandoville Studios yang memaksa korban bekerja lembur secara terus menerus. Hal ini mencerminkan bentuk eksploitasi yang kerap terjadi di industri kreatif, di mana batas waktu kerja banyak diabaikan demi memenuhi tenggat waktu yang ketat.
“Korban juga mengalami kerja lembur yang melewati batas waktu dan tidak dapat hak korban untuk mendapatkan cuti hari besar keagamaan. Terkait hak yang tidak didapatkan, hak cuti, hak kerja lembur yang melewati batas,” lanjut Firdaus.
Fenomena seperti ini dikaitkan dengan konsep “Hustle Culture” yang kian marak di dunia kerja saat ini. Atasan biasanya memaksa pekerja untuk menjalankan tanggung jawab yang melebihi posisi mereka serta bekerja lembur secara berlebihan.
Dalam hal ini, penting untuk memahami bahwa ketika pekerja dibebani dengan tugas di luar tanggung jawab dan jam kerja mereka, hal ini sudah termasuk bentuk kekerasan di tempat kerja. Kekerasan di tempat kerja tidak hanya dalam bentuk fisik, eksploitasi berlebih juga termasuk kekerasan.
Selain kekerasan berdimensi ekonomi, karyawan Brandoville juga mengalami kekerasan fisik. Kekerasan ini dianggap sebagai upaya untuk mendisiplinkan karyawan, meskipun tidak ada dukungan dari kebijakan institusi resmi yang mengizinkan tindakan tersebut.
Salah satu korban kekerasan di Brandoville Studios, berinisial CS, mengungkapkan kepada Polres Jakarta, bahwa ia mengalami kekerasan fisik.
CS mengaku bahwa dirinya dicekik, dipaksa untuk menampar wajahnya sendiri sebanyak 100 kali, dan naik turun tangga hingga 45 kali sebagai bagian dari perlakuan yang diterimanya.
Kasus ini mencerminkan adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh Cherry Lai, di mana kekerasan fisik dapat digunakan seenaknya tanpa adanya prosedur yang jelas dan sah. Kasus ini memperlihatkan adanya ketidakwajaran dalam praktik manajemen dan etika kerja.
Sejalan dengan itu, ILO menyatakan beberapa kekerasan berdimensi fisik yang paling banyak terjadi di lingkungan kerja Indonesia, dipukul menjadi yang tertinggi.
Sebanyak 25,81% kasus kekerasan fisik yang dilaporkan adalah dalam bentuk pukulan yang biasanya paling banyak terjadi di lingkungan kerja.16,13% lainnya melibatkan tamparan dan 10,97% melibatkan tendangan, menunjukan bahwa kekerasan di tempat kerja bisa menjadi lebih agresif dan berbahaya.
Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar 9,03% kasus kekerasan fisik melibatkan percobaan pembunuhan yang menandakan bahwa lingkungan kerja kini mengancam keselamatan para pekerja.
Korban kekerasan di Brandoville Studios juga mengaku beberapa kali menerima ancaman pembunuhan, meski keterangan tersebut masih akan didalami oleh para penyidik.
“Korban mengalami kekerasan penamparan di area pipi, pengancaman (pembunuhan), kekerasan verbal, dan adanya kekerasan psikis,” pungkas Firdaus.
Pentingnya Menerapkan Regulasi di Tempat Kerja
Kekerasan di tempat kerja menjadi masalah serius yang memengaruhi jutaan pekerja di Indonesia. Fenomena ini berdampak negatif terhadap kesejahteraan fisik dan mental para pekerja.
Berdasarkan laporan dari ILO, bentuk kekerasan fisik dan ekonomi dapat terjadi di berbagai sektor, seperti yang dialami oleh para mantan karyawan Brandoville Studios.
Oleh karena itu, untuk dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja.
Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan pengawasan, sementara perusahaan harus dapat memastikan kepatuhan terhadap standar etika dan kesejahteraan para pekerja.
Peneliti sosial dari The Indonesian Institute (TII) Dewi Rahmawati Nur Aulia, menekankan bahwa pemerintah harus mengevaluasi sistem penanganan kasus kekerasan di tempat kerja yang selama ini berlaku.
Pihak kepolisian harus bertindak secara profesional dengan memproses setiap laporan kekerasan di tempat kerja berdasarkan fakta hukum yang berlaku.
“Dengan profesionalisme kepolisian dalam menangani kasus kekerasan yang terjadi di tempat kerja, diharapkan para pelaku usaha dapat memahami pentingnya mematuhi regulasi yang ada,” ungkap Dewi, dilansir dari Tirto.
Sejalan dengan itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana, menegaskan bahwa tindakan kriminal seperti kekerasan dan eksploitasi seharusnya tidak terjadi dalam hubungan kerja.
Hukuman bagi pelaku kekerasan telah diatur dalam berbagai pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU khusus lainnya yang berlaku secara relevan.
Baca Juga: Cek Data: Jumlah Korban Kekerasan Seksual dan Psikis Capai 15 Juta Orang?
Penulis: Ucy Sugiarti
Editor: Editor