Tren keengganan untuk menikah pada kalangan anak muda nampaknya tak hanya terjadi di negara barat atau negara maju lainnya. Fenomena ini mulai nampak terjadi di tanah air.
Hal ini dikatakan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengutip Antara. Menurutnya, keadaan seperti ini akan mempengaruhi kondisi bonus demografi, kelahiran total, pertumbuhan penduduk, hingga pendapatan kelas menengah.
Ia juga menyebut bahwa fenomena ini akan berdampak pada usaha Indonesia untuk menjadi negara terbesar nomor empat di dunia.
Selalu turun di saat PDB Indonesia selalu naik
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui publikasi Statistik Indonesia 2024 menunjukkan bahwa jumlah pernikahan di Indonesia terpantau turun dari tahun ke tahun sejak 10 tahun silam.
Tingginya angka pernikahan di tanah air berada di tahun 2013. Saat itu, jumlah pernikahan yang dicatat pemerintah sebesar 2,21 juta pernikahan. Namun, lambat laun angkanya terus mengalami penurunan.
Pada tahun 2016, jumlah pernikahan turun menjadi 1,83 juta. Angka itu merosot 120 ribu dibanding tahun sebelumnya. Sempat naik menjadi 2 juta pada 2018, namun angkanya terjun menjadi 1,79 juta di tahun 2020, lalu menjadi 1,7 juta di 2022, dan akhirnya menjadi 1,57 juta di tahun 2023 kemarin.
Di samping angka pernikahan turun, angka perceraian justru naik. Dirjen Badan Peradilan Agama dan Mahkamah Agung mencatat, di saat terdapat 2,21 juta pernikahan di 2013, terdapat sekitar 324 ribu perceraian di tahun tersebut.
Kemudian saat angka pernikahan mencapai 1,7 juta pada tahun 2022, angka perceraiannya menembus 516 ribu. Lalu di tahun 2023, angka perceraian berada di 463 ribu. Sebanyak 251 ribu kasus perceraian terjadi karena perselisihan, sementara 108 ribu kasus karena masalah ekonomi.
Di sisi lain, fenomena turunnya angka pernikahan di Indonesia disinyalir berbanding lurus dengan peningkatan perekonomian di tanah air, di mana PDB (Produk Domestik Bruto) menjadi acuannya.
Hal ini dapat dilihat dari PDB Indonesia pada 2013 yang berada di angka US$0,9 triliun, bahkan di US$0,8 triliun pada 2014. Padahal, di tahun tersebut angka pernikahan sedang tinggi-tingginya.
Justru, pada saat angka pernikahan berada di titik terendah yaitu pada 2023, PDB Indonesia berada pada level tertingginya, yaitu di angka US$1,34 triliun.
Hal ini menguatkan keadaan bahwa di luar aspek budaya dan agama, tren ini juga terjadi di negara yang ekonominya meningkat, dalam hal ini Indonesia.
Fokus karier menjadi alasan teratas
Sebuah rilis yang dikeluarkan oleh Populix bertajuk Indonesian Gen-Z & Millennial Marriage Planning and Wedding Preparation, menunjukkan bahwa hanya 18% dan 19% Gen Z dan Milenial yang menyatakan berencana menikah dalam waktu dekat.
Sisanya, mereka mengaku ingin menikah namun dalam waktu yang tidak dekat, bahkan mengklaim bahwa ia tidak berencana menikah.
Mengulik lebih lanjut, 57% responden mengaku belum berencana menikah karena ingin berfokus pada pengembangan kariernya. Sementara itu, 53% menyatakan masih ingin menikmati kehidupan pribadi di luar karier
Sebanyak 44% menjawab belum menemukan pasangan yang tepat, serta 11% mengaku puas dengan kehidupan saat ini.
Pengaruh pendidikan, pemberdayaan perempuan, hingga broken home
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyebut bahwa penurunan angka pernikahan di tanah air ini terjadi karena meningkatnya level pendidikan masyarakat Indonesia.
"Semakin kaya, pendidikan semakin tinggi dan bermukim di perkotaan, berkolerasi erat dengan median usia menikah yang semakin mundur,"
-Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Antara
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menjelaskan bahwa faktor dari pemberdayaan perempuan juga mempengaruhi keengganan menikah ini. Dalam analisisnya, perempuan modern lebin mementingkan pekerjaan, kemudian pendidikan, barulah memikirkan pernikahan.
”Melalui pernikahan, perempuan tidak bisa mengelola waktu dan uangnya sendiri sehingga membuat mereka tidak nyaman. Mereka kemudian membangun otonomi perempuan dengan hidup sendiri dan mandiri. Mereka akan menghubungi teman bila ingin bermain atau bersosialisasi,” kata Drajat dalam Kompas.
Dosen Departemen Andrologi dan Seksologi Universitas Udayana sekaligus Ketua PKBI Bali Oka Negara menambahkan bahwa permasalahan pribadi juga mempengaruhi keengganan untuk menikah.
“Sementara itu, kalau di Indonesia bisa ditambah alasan personal lainnya, seperti trauma karena keluarganya broken home atau sarat dengan KDRT.” tutur Oka mengutip RRI.
Wakil Presiden RI K.H. Ma'ruf Amin mengingatkan kepada masyarakat Indonesia untuk tidak menunda pernikahannya. Menurutnya, jika hal ini terus terjadi maka penduduk produktif Indonesia akan turun.
"Jadi anjurannya itu dilakukan keseimbangan jadi jangan menunda nikahnya, sebab kalau tidak, nanti prediksinya yang banyak yang tua. Yang muda yang produktif itu rendah." kata Ma'ruf Amin dalam CNBC Indonesia.
Penulis: Pierre Rainer
Editor: Editor