Dalam enam tahun terakhir, data menunjukkan proporsi pekerja perempuan di sektor informal secara konsisten lebih tinggi dibandingkan sektor formal. Pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja perempuan di sektor informal terus mengalami peningkatan, dari 61,9% pada tahun 2018 hingga 64,25% di tahun 2023.
Data ini menunjukkan, sektor informal masih menjadi pilihan dominan bagi perempuan yang bekerja, meskipun terdapat banyak kekurangan dari segi kesejahteraan, termasuk upah yang cenderung lebih rendah dibandingkan sektor formal.
Bekerja di sektor informal menjadi sebuah pilihan bagi perempuan karena dianggap memberikan fleksibilitas atas jam kerja, tetapi sektor informal sering kali tidak menyediakan perlindungan seperti asuransi atau jaminan pensiun. Gaji yang didapat jauh lebih rendah dibandingkan sektor formal. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar terkait pilihan atas fleksibilitas dengan keamanan finansial yang diterima.
Disisi lain, BPS juga menunjukkan bahwa proporsi pekerja laki-laki pada kedua sektor tersebut memiliki perbedaan, yakni di tahun 2023, sebanyak 44,19% laki-laki bekerja di sektor formal, sedikit meningkat dari tahun 2020 yang sebesar 42,71%.
Sektor formal yang lebih stabil dan menyediakan perlindungan sosial tampaknya lebih diminati laki-laki, yang mencerminkan pilihan dan ekspektasi gender yang berbeda di dunia kerja. Kesenjangan ini menimbulkan dampak signifikan terhadap kesejahteraan perempuan yang mendominasi sektor informal.
Tantangan Ekonomi untuk Pekerja Perempuan
Ketimpangan pekerja pada dua sektor ini berpengaruh terhadap kesejahteraan ekonomi, terutama bagi pekerja perempuan. Menurut Sri Wiyanti Eddyono dalam diseminasi hasil penelitiannya pada ASEAN Semiloka 2023 yang dimuat UGM, ketika perempuan masuk ke sektor informal, perlindungan dan kesejahteraan bagi perempuan pun tak terjamin.
Upah rata-rata pekerja perempuan lebih rendah, Rp2,35 juta dibandingkan laki-laki yang besarnya Rp2,96 juta. Kondisi ini membuat pekerja perempuan di sektor informal rentan terhadap ketidakpastian finansial.
Bagi pekerja perempuan di sektor informal, keterbatasan akses atas perlindungan kerja sering berimbas pada kesejahteraan keluarga mereka. Keberadaan banyak pekerja perempuan yang tetap memilih sektor informal menunjukkan adanya faktor alasan tertentu yang memotivasi mereka untuk tetap bertahan di bidang tersebut meskipun terdapat risiko finansial yang lebih tinggi.
Motivasi Perempuan Memilih Sektor Informal
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh MicroSave Consulting dan Kementerian PPPA pada 2023 pada 400 orang yang menjadi responden melalui pengisian kuesioner, alasan perempuan memilih sektor informal sangat bervariasi berdasarkan kelompok usianya.
Pada usia awal masuk kerja yakni kurang dari 25 tahun, masing-masing sebanyak 46% perempuan memilih sektor informal demi memperoleh pendapatan dan jam kerja yang fleksibel, diikuti oleh 29% perempuan yang ingin menjadi bos bagi dirinya sendiri, dan 25% lainnya terpaksa memilih sektor ini karena kurangnya peluang kerja di sektor formal.
Lalu di usia reproduktif yakni 26 hingga 35 tahun, fleksibilitas jam kerja menjadi alasan utama sebesar 66%, diikuti oleh motivasi memperoleh pendapatan sebesar 30%. Hal ini terjadi karena banyak perempuan di usia ini memiliki tanggung jawab atas keluarganya, sehingga membutuhkan pekerjaan yang memungkinkan akan memberikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional.
Kemudian pada kelompok pra-pensiun pada usia 46 hingga 60 tahun, sebanyak 64% perempuan di usia ini memilih karena cenderung mempertimbangkan fleksibilitas kerja. Selanjutnya, pertimbangan memperoleh pendapatan sebesar 21%, dan preferensi pribadi untuk bekerja di industri tertentu sebesar 17%. Banyaknya perempuan di usia ini mencari kerja di sektor informal agar lebih mudah diatur dan tidak terlalu membebani.
Hal ini berbeda dengan kelompok pada paruh baya yakni 36 hingga 45 tahun. Alasan utama memilih sektor informal adalah untuk memperoleh pendapatan sebesar 62%, disusul oleh fleksibilitas jam kerja sebanyak 54%, serta kurangnya kualifikasi yang diperlukan untuk bekerja di sektor formal sebesar 23%. Hal ini menunjukkan pada perempuan usia paruh baya, meski mengutamakan pendapatan, pertimbangan atas fleksibilitas kerja juga menjadi fokus mereka.
Melansir World Bank, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen menjelaskan pemanfaatan kemampuan perempuan dan peningkatan partisipasi mereka dalam perekonomian dapat menjadi kebijakan ekonomi yang cerdas untuk pemulihan.
Penekanan pada keterampilan dan penciptaan pekerjaan yang memanfaatkan angkatan kerja perempuan di Indonesia bukan hanya akan mendukung pertumbuhan jangka pendek yang lebih besar, melainkan juga akan memastikan bahwa investasi untuk modal manusia direalisasikan sepenuhnya.
Hal tersebut dapat difokuskan pada pelatihan keterampilan kerja dan pendidikan vokasional untuk memperoleh keterampilan yang lebih relevan untuk sektor formal.
Kesenjangan antara pekerja perempuan dan laki-laki di sektor informal dan formal menunjukkan perbedaan preferensi dan tantangan. Perempuan di sektor informal menginginkan fleksibilitas dan peluang menjadi pemimpin, tetapi kondisi kerja yang tak terjamin memberi risiko finansial yang besar.
Pekerja perempuan Indonesia memerlukan kebijakan yang mendukung kesejahteraan perempuan, baik melalui peningkatan akses pendidikan dan keterampilan, program perlindungan sosial, maupun fleksibilitas dalam dunia kerja formal.
Baca Juga: Peningkatan Partisipasi Perempuan Pekerja Formal dan Informal 2024
Penulis: Jannatul L. Mustain
Editor: Editor