Kasus suap di dunia pengadilan kembali mencuat setelah terungkapnya dugaan jual-beli vonis yang melibatkan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya terkait kasus Gregorius Ronald Tannur. Putusan bebas yang awalnya diberikan kepada Ronald—terdakwa pembunuhan Dini Sera Afrianti—memicu reaksi keras dari publik dan membuka tabir praktik korupsi yang menyandera integritas hakim.
Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), fenomena hakim menerima suap untuk mengubah vonis merupakan masalah sistemik yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Apa yang terjadi pada kasus ini bukanlah kejadian tunggal, melainkan bagian dari serangkaian kasus serupa yang terus berulang dari tahun ke tahun.
Tiga Hakim Tersangka Suap Vonis Bebas Ronald Tannur
Kasus dugaan suap yang melibatkan Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan Dini Sera Afrianti, telah mengguncang institusi peradilan Indonesia. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya—Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul—sebagai tersangka atas dugaan penerimaan suap untuk memvonis bebas Ronald Tannur pada Juli 2024.
Keputusan ini dipertanyakan banyak pihak, terutama ketika Mahkamah Agung kemudian membatalkan vonis bebas dan mengubahnya menjadi hukuman lima tahun penjara pada Oktober 2024.
Dalam pengembangan kasus ini, Kejagung juga menetapkan Zarof Ricar, mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung, sebagai tersangka. Zarof diduga menjadi perantara yang menghubungkan pengacara Ronald, Lisa Rachmat, dengan para hakim yang menangani kasasi Ronald.
Dalam operasi penangkapan, penyidik menyita barang bukti berupa uang tunai senilai lebih dari Rp20 miliar, serta barang bukti elektronik dan catatan transaksi lainnya di kediaman para tersangka. Dari rumah Zarof, ditemukan uang tunai berbagai mata uang senilai Rp920 miliar dan 51 kilogram emas batangan—yang menurut keterangan Zarof adalah hasil kerja sebagai "makelar kasus" sejak 2012.
Penetapan ini mengungkap lemahnya sistem pengawasan terhadap para hakim. Ketua Ikatan Hakim Indonesia Yasardin, mengungkapkan bahwa lemahnya pengawasan di daerah membuat banyak hakim merasa bebas dari pengawasan langsung. Selain itu, kesenjangan kesejahteraan para hakim sering disebut sebagai salah satu pemicu terjadinya praktik suap.
Baca Juga: Tuntut Janji Prabowo untuk Kenaikan Gaji, Ribuan Hakim Lakukan Aksi Cuti Massal
Jumlah Hakim yang Terlibat Kasus Suap dari Tahun ke Tahun
Data dari ICW menunjukkan bahwa kasus suap hakim bukanlah fenomena baru. Dalam kurun waktu 2011 hingga Oktober 2024, ICW mencatat sebanyak 30 hakim yang terlibat suap untuk mengatur vonis pidana. Grafik distribusi tahunan menunjukkan fluktuasi jumlah hakim yang menerima suap dan gratifikasi.
Misalnya, pada tahun 2012 dan 2013, masing-masing terdapat empat hakim yang terlibat suap. Tren ini berlanjut pada 2015 hingga 2018 dengan jumlah hakim tersangka yang bervariasi. Pada 2022 mencuat kembali tiga kasus hakim suap, diikuti pada 2023 terdapat satu kasus, dan ditutup dengan tahun ini tiga kasus yang diketahui.
ICW menilai kasus tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur hanyalah puncak dari fenomena gunung es. Keterbatasan jumlah pengawas di Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) menjadi celah bagi hakim di daerah untuk melakukan praktik kotor tersebut. Meski KY dan Bawas MA telah berusaha memetakan pengadilan yang rawan suap, masih banyak hakim yang "bermain mata" dengan pihak yang beperkara.
Diky Anandya dari ICW menilai pentingnya pengawasan menyeluruh oleh MA, KY, dan KPK terhadap para hakim di semua tingkatan. Pengawasan fisik, evaluasi berkala, dan pemetaan pengadilan rentan suap dianggap mampu menutup celah bagi hakim yang berniat melakukan kecurangan.
Jumlah Sanksi dari Tahun ke Tahun
Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas hakim terus menerima laporan dugaan pelanggaran etik dan telah menjatuhkan sanksi terhadap hakim dari tahun ke tahun. Data KY mengungkapkan bahwa pada 2021 terdapat 71 sanksi ringan, 18 sanksi sedang, dan 8 sanksi berat, dengan total laporan dan tembusan mencapai 2.501 kasus.
Pada 2022, jumlah laporan meningkat menjadi 2.925 kasus, tetapi jumlah sanksi ringan menurun menjadi 14, sedangkan sanksi sedang dan berat masing-masing sebanyak dua dan tiga sanksi.
Pada 2023, angka laporan dan tembusan naik signifikan menjadi 3.593 kasus. Sanksi ringan tercatat sebanyak 15, sanksi sedang 10, dan sanksi berat 17. Peningkatan laporan ini menunjukkan naiknya kesadaran masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran etik oleh para hakim, meski belum tentu disertai dengan peningkatan jumlah sanksi yang dijatuhkan.
Juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, mengungkapkan bahwa masih lemahnya pengawasan merupakan salah satu penyebab banyaknya hakim yang menerima suap. Dua alasan utama, yaitu kebutuhan dan keserakahan, sering kali menjadi motivasi bagi hakim untuk menerima suap.
KY telah berupaya melakukan kegiatan pemantauan dan memberikan pelatihan kepada para hakim untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, namun upaya tersebut belum cukup untuk mengurangi perilaku koruptif secara signifikan.
Baca Juga: Turun Naik Persepsi Publik Terhadap Integritas Hakim
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor