Di Indonesia, permasalahan agraria menjadi salah satu persoalan serius yang tak kunjung dapat dibenahi secara tuntas.
Pelaksanaan agenda reforma agraria yang secara fundamental menawarkan strategi-strategi penyelesaian konflik pun dinilai belum menunjukkan capaian yang memuaskan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, jumlah letusan konflik agraria juga terus meningkat dalam 2 tahun terakhir. Baik konflik lama yang sudah berkepanjangan maupun konflik baru makin terakumulasi dan terus muncul ke permukaan di berbagai penjuru negeri.
Sepanjang tahun 2023, KPA melaporkan bahwa sedikitnya terjadi 241 letusan konflik agraria di atas tanah seluas 638.188 Ha, tersebar di 346 desa dengan korban terdampak sebanyak 135.608 kepala keluarga (KK).
Dari 241 letusan konflik yang terjadi di tahun lalu, 108 konflik atau 44,8% di antaranya menyeret perusahaan-perusahaan pada sektor perkebunan-agribisnis, dengan luasan wilayah konflik mencapai 124.545 ha dan menimbulkan korban terdampak sebanyak 37.553 KK.
Menurut komoditasnya, letusan konflik pada sektor perkebunan mayoritas terjadi di perkebunan kelapa sawit sebanyak 88 kasus, diikuti perkebunan tebu 6 kasus, dan perkebunan kelapa 5 kasus.
Tingginya jumlah letusan konflik agraria di sektor perkebunan juga sarat dengan tindakan kekerasan dan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang tertuju pada masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanahnya bahkan sekadar menyuarakan aspirasinya.
Menurut catatan KPA, di tahun lalu, konflik agraria di sektor perkebunan telah mengakibatkan 252 orang mengalami kriminalisasi, 52 orang mengalami penganiayaan, 2 orang tertembak, dan 3 orang tewas.
Selain sektor perkebunan, KPA melaporkan konflik agraria di 2023 juga terjadi pada sektor properti sebanyak 44 kasus, sektor tambang 32 kasus, sektor infrastruktur 30 kasus, sektor kehutanan 17 kasus, dan sektor pesisir dan pulau-pulau kecil serta fasilitas militer masing-masing 5 kasus.
Yang tak kalah menyita perhatian publik, juga konflik-konflik yang timbul akibat pembangunan proyek-proyek strategis nasional (PSN).
KPA mencatat PSN telah memicu meletusnya 105 konflik agraria sepanjang 2020-2023, di antaranya seperti kasus proyek Kawasan Industri Rempang, Wadas, Mandalika, Kertajati, dan sejumlah proyek pertambangan nikel di Sulawesi dan Maluku.
Sebanyak 241 letusan konflik agraria yang terjadi di tahun lalu tersebar di 33 provinsi di Indonesia.
Tertinggi, terjadi di Sumatra Utara sebanyak 33 kasus dengan total luas area konflik mencapai 34.090 ha dan korban terdampak sebanyak 11.148 KK di 25 desa. Jumlah ini didominasi juga oleh letusan konflik di wilayah perkebunan sebanyak 20 kasus.
Terbanyak ke-2, terjadi di Sulawesi Selatan sebanyak 19 kasus, di atas tanah seluas 75.785 ha dan korban terdampak sebanyak 17.889 KK di 53 desa. Di Sulsel, letusan konflik paling banyak disebabkan oleh sektor tambang sebanyak 8 kasus, perkebunan 4 kasus, dan kehutanan 3 kasus.
Provinsi Riau menempati urutan ke-3 dengan jumlah letusan konflik agraria sebanyak 16 kasus, luas tanah konflik 60.955 ha dan korban terdampak 6.992 KK di 20 desa di berbagai kabupaten.
Posisi ke-4 ditempati Provinsi Jambi yang menyumbangkan 15 letusan konflik agraria di tahun lalu, dengan luas mencapai 22.433 ha dan korban terdampak 6.061 KK di 20 desa.
Provinsi Bengkulu dan Kalimantan Timur masing-masing mencatatkan 12 letusan konflik agraria di 2023. Meski demikian, luas tanah konflik di Kaltim jauh lebih luas mencapai 251.259 ha dengan korban terdampak 3.885 KK.
Sementara di Bengkulu, konflik agraria terjadi di atas tanah seluas 9.241 ha dan menimbulkan korban terdampak sebanyak 4.186 KK.
Konflik agraria di Kaltim paling banyak disebabkan oleh proyek pembangunan infrastruktur sebanyak 5 kasus. Adapun di Bengkulu, letusan konflik di tahun lalu seluruhnya disebabkan oleh operasi perusahaan perkebunan, baik swasta maupun plat merah.
Penulis: Raka B. Lubis
Editor: Editor