Pernah tidak ketika sedang kumpul keluarga terus tiba-tiba ada yang cetus bertanya, “Kapan menikah?” yang kerap diarahkan kepada remaja-dewasa. Pertanyaan seperti ini kerap membuat anak muda merasa tidak nyaman dan hanya bisa balas tersenyum canggung.
Dewasa ini, semakin banyak alasan yang membuat kaum muda mempertimbangkan ulang untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan, sejumlah faktor penting menjadi alasan utama di balik keputusan menunda pernikahan.
Hasil penelusuran di media sosial menunjukkan bahwa pembahasan tentang “marriage is scary” atau “pernikahan itu menakutkan” menjadi salah satu topik panas yang memancing diskusi publik. Berdasarkan analisis data dari Google Trends, istilah ini mencapai puncak popularitasnya pada Agustus 2024.
Hal ini sejalan dengan data yang dikumpulkan oleh Konsultan Komunikasi SGH dan Teleskop.id Data Analytic yang menemukan 3.441 konten tentang "tunda menikah" di media sosial X dan Instagram selama periode 16-21 September 2024.
Alasan-Alasan Tidak/Menunda Menikah
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh warganet mencakup berbagai aspek kehidupan pribadi dan sosial. Faktor ekonomi menempati posisi teratas, dengan 13,9% warganet menyatakan bahwa alasan finansial yang belum mapan menjadi pertimbangan utama untuk tidak/menunda dulu pernikahan.
Selanjutnya, alasan selektif memilih pasangan (13,3%) dan belum menjadi prioritas (12,7%) juga menunjukkan bahwa sebagian besar anak muda kini memiliki aspirasi lain yang ingin dicapai sebelum mengikat diri dalam pernikahan.
Alasan lainnya termasuk belum siap mental (9,5%), merasa bahagia atau nyaman sendiri (9,5%), hingga ketakutan akan salah memilih pasangan yang dapat berujung pada masalah seperti kekerasan dalam rumah tangga atau perselingkuhan (8,2%).
Perspektif ini juga tercermin dalam kisah nyata individu-individu yang berbagi pengalaman mereka. Misalnya, Denny (25), seorang karyawan swasta, menunda pernikahan untuk fokus pada karier dan pendidikan. Pengalaman rekan-rekan kerjanya yang menghadapi tantangan finansial dalam kehidupan rumah tangga menginspirasinya untuk mencapai stabilitas ekonomi terlebih dahulu sebelum menikah.
”Senior saya cerita, istrinya mengomel karena popok dan susu habis. Terus yang lain cerita, ini sudah tanggal tua. Jadi saya berpikir, apakah nikah itu horor, sebegitu menakutkankah?” katanya sambil tertawa seperti yang dikutip dari Kompas.
Sementara itu, Irene (41), seorang karyawan swasta, memilih untuk tetap melajang dan menikmati hidup tanpa ketergantungan pada pasangan. Bagi Irene, kebahagiaan pribadi dan kemandirian adalah prioritas utama, meskipun ia tidak menutup kemungkinan untuk menikah jika bertemu dengan pasangan yang tepat.
Selain faktor-faktor pribadi, trauma dari hubungan masa lalu juga memainkan peran penting. Sebagian dari mereka yang mengalami pengalaman patah hati, kegagalan hubungan, atau menyaksikan ketidakbahagiaan dalam pernikahan orang tua cenderung lebih berhati-hati dalam membangun hubungan baru.
Baca Juga: Prioritas Wanita: Karier dan Pengalaman Sebelum Menikah
Persentase Pernikahan Anak Muda 2014-2023
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mendukung fenomena penurunan minat menikah di kalangan anak muda Indonesia. Berdasarkan laporan BPS, mayoritas pemuda Indonesia (16–30 tahun) berstatus belum menikah, mencapai 68,29% pada Maret 2023. Angka ini menunjukkan peningkatan yang konsisten sejak 2014, di mana pada tahun tersebut 54,11% pemuda berstatus belum menikah. Sementara itu, persentase pemuda yang berstatus kawin mengalami tren penurunan, dari 44,45% pada 2014 menjadi hanya 30,61% pada 2023.
Fenomena ini dianggap sebagai salah satu bentuk pergeseran usia pernikahan di Indonesia. Seiring dengan peningkatan persentase pemuda yang menunda pernikahan, berbagai faktor sosial dan kebijakan turut mempengaruhi tren ini. Misalnya, perubahan pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang batas usia minimal pernikahan yang menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan diyakini turut berperan dalam menurunnya persentase pernikahan di kalangan anak muda.
Tren ini tidak hanya mencerminkan perubahan gaya hidup, tetapi juga respons terhadap kondisi ekonomi yang semakin menantang. Rata-rata upah per bulan pada 2023 tercatat sebesar Rp3,17 juta, naik 3,5% dari tahun sebelumnya. Namun, kenaikan pengeluaran bulanan mencapai 9,35% pada periode yang sama, yang berarti bahwa pengeluaran meningkat lebih cepat daripada pendapatan. Kesenjangan ini mempersempit ruang bagi generasi muda untuk menyisihkan uang sebagai modal pernikahan dan kehidupan rumah tangga.
Obi (45), seorang fotografer lepas, berbagi kisahnya tentang sulitnya menabung untuk pernikahan dalam kondisi ekonomi yang fluktuatif. Sebagai pekerja lepas, Obi merasa bahwa stabilitas finansial adalah prioritas sebelum memutuskan untuk menikah.
"Saya mikir, untuk hidup sendiri aja kadang pasang surut. Bagaimana nanti mau menghidupi dua manusia, istri atau anak?” ujarnya.
Baca Juga: Mayoritas Gen Z Ternyata Mau Menikah
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor