ICW Desak Revisi UU Pemilu: Kasus Pelecehan dan Minimnya Keterwakilan Perempuan Jadi Isu

ICW bersama Koalisi Masyarakat Sipil menggelar diskusi media untuk mendorong pembahasan revisi UU Pemilu yang dipandang urgen.

ICW Desak Revisi UU Pemilu: Kasus Pelecehan dan Minimnya Keterwakilan Perempuan Jadi Isu ICW Gelar Diskusi Segerakan RUU Pemilu | GoodStats/Daffa Shiddiq Al-Fajri
Ukuran Fon:

Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Masyarakat Sipil menggelar diskusi media bertajuk “Urgensi Menyegerakan Pembahasan Revisi UU Pemilu” pada Senin, 28 April 2025, di Rumah Belajar ICW.

Diskusi ini menyoroti urgensi revisi Undang-Undang Pemilu untuk mengatasi permasalahan berulang, seperti ketidakefektifan penyelenggaraan pemilu, kasus pelecehan seksual di lingkungan penyelenggara, dan minimnya keterwakilan perempuan di parlemen.

Narasumber diskusi meliputi Hadar Nafis Humay (Netgrit), Fadli Ramadhanil (Perludem), Charles Simabura (Universitas Andalas), Seira (ICW), Ayu (Koalisi Perempuan Indonesia), Lilia (UI), dan Feri Anasari (Themis Indonesia Law Firm).

Baca Juga: Hasil Pemilu 2024: Daftar Perolehan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Legislatif

54 Kasus di Lingkungan Penyelenggara Pemilu

Feri Anasari dari Themis Indonesia menyoroti maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan penyelenggara pemilu, dengan 54 kasus tercatat pada tahun 2023 saja.

“Penyelenggara pemilu kita di tahun 2023 melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan di 54 kasus. Jumlah ini menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu kita bukanlah penyelenggara pemilu profesional,” ujar Feri.

Ia menegaskan bahwa angka ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam memastikan integritas dan profesionalisme penyelenggara pemilu. Selain itu, Feri juga menyinggung ketidakprofesionalan dalam proses verifikasi faktual, di mana praktik kecurangan terbuka terungkap dalam sidang Komisi II DPR.

“Apa yang terjadi? Ditutup sidang. Jadi antara penyelenggara dan peserta sudah terjadi kongkalingkong,” tambahnya, menunjukkan adanya kolusi yang merusak independensi penyelenggara.

Kenapa RUU Pemilu Jadi Prioritas?

Hadar Nafis Humay menegaskan urgensi revisi UU Pemilu untuk memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara dalam menyusun peraturan pelaksana (PKPU) dan sistem teknologi, seperti Sirekap, yang bermasalah pada pemilu 2024.

“Kalau undang-undangnya telat, PKPU-nya telat, waktu mepet untuk menyiapkan. Akibatnya kita dapatkan sistem-sistem yang tidak bisa berfungsi dengan baik, yang kemudian kita meragukan,” ungkap Hadar. Ia menambahkan bahwa keterlambatan regulasi menyebabkan penyelenggara sulit bekerja secara independen dan meningkatkan risiko ketidaksahihan surat suara.

Fadli Ramadhanil dari Perludem menekankan bahwa pembahasan RUU Pemilu harus dimulai jauh sebelum tahapan pemilu 2029.

“Kalau pembahasan Undang-Undang Pemilu masih belum juga dibahas dalam tahun 2025, atau bahkan baru dimulai di akhir 2026, ini akan mengulang peristiwa pembahasan UU Nomor 17 Tahun 2017, di mana undang-undang disahkan hanya beberapa hari sebelum tahapan pemilu dimulai,” kata Fadli. Ia juga mengusulkan metode kodifikasi untuk menyatukan UU Pemilu dan UU Pilkada agar lebih mudah dipahami.

Kasus Pelecehan Seksual dari Beberapa Periode Sebelumnya

Kekerasan Seksual di Lingkungan Penyelenggara Pemilu
Kekerasan Seksual di Lingkungan Penyelenggara Pemilu | GoodStats

Data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menunjukkan tren mengkhawatirkan kasus kekerasan seksual di lingkungan penyelenggara pemilu. Pada periode 2017–2022, tercatat 25 kasus, diikuti 4 kasus pada 2022–2023, dan melonjak menjadi 54 kasus pada 2023. Lilia, peneliti antropologi UI, menyoroti bahwa UU Pemilu belum responsif terhadap isu ini.

“Kita belum ada aturan terhadap kekerasan seksual, atau sinkronisasi dengan UU TPKS. Untuk menciptakan ruang politik yang aman, ini harus didorong dalam revisi UU Pemilu,” tegas Lilia. 

Ia menjelaskan bahwa kurangnya mekanisme pelaporan yang jelas dan sanksi tegas membuat perempuan rentan, baik sebagai penyelenggara maupun peserta pemilu. Ketidaksesuaian dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memperparah situasi, karena tidak ada pedoman spesifik untuk menangani kasus di lingkungan pemilu.

Seira dari ICW menambahkan bahwa regulasi yang ada juga gagal mengakomodasi aspek pencegahan, seperti pelatihan gender untuk penyelenggara atau pembentukan satuan tugas khusus untuk menangani keluhan kekerasan seksual. Revisi UU Pemilu harus mencakup ketentuan yang menjamin perlindungan, mekanisme pengaduan yang aman, dan sanksi berat bagi pelaku, untuk memastikan lingkungan pemilu yang inklusif dan bebas dari kekerasan. Selain itu, penguatan pengawasan internal oleh DKPP dan Bawaslu juga diperlukan untuk mencegah impunitas.

Minimnya Kuota Perempuan yang Mewakili Parlemen

Ayu dari Koalisi Perempuan Indonesia menyoroti tantangan keterwakilan perempuan yang masih jauh dari target 30%.

“Kita tahu bahwa sampai saat ini pun target 30% keterwakilan perempuan belum tercapai karena banyak tantangan dari segi ekonomi, sosial, politik, dan psikologis,” ungkap Ayu.

Ia menyinggung ironi di mana komisi yang mengurusi isu perempuan, anak, dan keagamaan di DPR tidak dipimpin oleh perempuan, melainkan laki-laki, menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan belum substantif. 

Ayu juga menggarisbawahi rendahnya partisipasi perempuan dalam proses legislasi dan pengambilan kebijakan, termasuk dalam pengawalan RUU Pemilu. Survei Koalisi Perempuan Indonesia terhadap calon legislatif perempuan mengungkapkan adanya doksing dan tekanan dari partai politik atau lingkungan terdekat, yang menghambat keterlibatan mereka.

“RUU ini harus menjamin kebijakan affirmative action untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan, baik sebagai pemilih, penyelenggara, maupun calon,” tegas Ayu.

Lilia menambahkan bahwa rendahnya keterwakilan perempuan berdampak pada tingginya indeks ketimpangan gender, yang bertentangan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs) untuk kesetaraan gender. 

Ia menekankan perlunya sistem pemilu yang mendukung keterpilihan perempuan, seperti kuota zipper atau penguatan komitmen partai politik. Revisi UU Pemilu harus mencakup ketentuan yang memperkuat akses informasi, pelatihan politik bagi perempuan, dan perlindungan dari kekerasan politik, untuk memastikan representasi yang adil.

Persentase Keterwakilan Perempuan di DPR RI

Persentase Perempuan Terdaftar DPR RI
Persentase Perempuan Terdaftar DPR RI | GoodStats

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan fluktuasi keterwakilan perempuan di DPR RI. Pada 2009, persentase perempuan mencapai 31,8%, meningkat menjadi 37,4% pada 2014. Namun, angka ini turun drastis menjadi 20,5% pada 2019 dan hanya sedikit meningkat menjadi 21,9% pada 2024. Lilia menegaskan bahwa angka ini jauh dari cerminan proporsi perempuan yang mencapai 50% dari populasi.

“Di parlemen nasional, hanya 22% perempuan, dan di tingkat provinsi bahkan di bawah 20%, hanya 19%,” ujar Lilia. 

Penurunan ini menunjukkan lemahnya implementasi kuota 30% yang diamanatkan UU Pemilu, akibat kurangnya sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi kuota, serta minimnya dukungan finansial dan pelatihan bagi calon perempuan. Ayu menambahkan bahwa banyak perempuan ditempatkan di nomor urut tidak strategis oleh partai, yang mengurangi peluang keterpilihan mereka.

Revisi UU Pemilu harus memperketat aturan kuota, termasuk sanksi tegas bagi partai yang tidak mematuhi, dan mendorong sistem pemilu yang lebih inklusif, seperti proporsional terbuka dengan penguatan mekanisme kuota gender. Selain itu, edukasi pemilih untuk mendukung kandidat perempuan dan kampanye anti-stigma terhadap perempuan dalam politik juga perlu diintegrasikan dalam regulasi.

Baca Juga: Daftar Perolehan Kursi DPR Partai Politik Peserta Pemilu Legislatif Tahun 2024

Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor

Konten Terkait

Ingin Mulai Investasi Reksadana? Simak Perbedaan Mendasar Antara Reksadana Syariah dan Konvensional!

Agar Anda lebih memahami dan dapat memilih dengan tepat, berikut adalah beberapa perbedaan utama antara reksadana syariah dan konvensional.

Survei LPEM UI: Para Ahli Pesimis terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan lesu semester depan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook