Baru-baru ini, isu beasiswa UKT yang diterapkan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) ramai menjadi perbincangan di jagad maya. Istilah “beasiswa UKT” tersebut merujuk pada potongan atau keringanan biaya UKT yang diberikan kepada mahasiswa ITB. Satu hal yang menjadi kontroversi dari adanya beasiswa UKT ini adalah bahwa seluruh mahasiswa yang menerima potongan UKT diwajibkan untuk melakukan kerja paruh waktu.
Informasi ini mulai ramai dibicarakan oleh masyarakat luas sejak ada mahasiswa ITB yang mengunggah tangkapan layar surel dari Direktorat Pendidikan di media sosial. Dalam surel tersebut, mahasiswa yang menerima keringanan UKT diwajibkan untuk mendaftar kerja paruh waktu melalui tautan formulir yang diberikan.
Terdapat 10 kegiatan yang dapat dipilih oleh mahasiswa, seperti menjadi helpdesk Direktorat Pendidikan, pengurus administrasi dan surat-menyurat Direktorat Pendidikan CCAR, serta membuat konten materi matematika TPB.
Salah satu mahasiswa ITB, Nivan Yuli Saputra, mengungkapkan bahwa istilah “beasiswa” tersebut tidak seharusnya digunakan karena istilah tersebut berbeda dengan keringanan UKT.
“Saya kaget sih karena itu kan namanya keringanan UKT dan bukan beasiswa dan mereka seolah-olah ingin minta imbalan dari keringanan UKT yang sebetulnya sudah hak kami,” tuturnya seperti yang dikutip dari BBC Indonesia.
Melalui sumber yang sama, Ardianto Satriawan yang merupakan Pengurus Serikat Pekerja Kampus mengungkapkan bahwasanya telah ada aturan yang dilanggar dari adanya kebijakan ITB mengenai “beasiswa” ini.
“Pengurangan UKT itu harusnya bukan beasiswa, tapi itu adalah amanat Undang-Undang Pendidikan Tinggi tahun 2012. Itu ada level-levelnya dan menurut undang-undang diberikan dengan tanpa timbal balik untuk program S1,” tegasnya.
Alumni ITB tersebut menambahkan bahwa jika hal ini memang beasiswa, seharusnya mahasiswa diberitahu sejak awal mengenai apa saja syarat dan ketentuannya, bagaimana kontraknya, seperti apa perjanjiannya, serta apa yang dapat diberikan mahasiswa sebagai timbal balik. Namun, faktanya hal tersebut tidak pernah dijelaskan.
Penerima Beasiswa "Asli" di ITB
Merujuk pada pendapat Ardianto tersebut, maka sudah jelas bahwa bantuan keringanan biaya UKT berbeda dengan beasiswa. Dikutip dari Pedoman Pemberian Beasiswa Pemerintah Daerah Balangan Kalimantan Selatan, pemberian beasiswa kepada mahasiswa berprestasi dan/atau tidak mampu bertujuan untuk mendorong aktivitas serta kreativitas dan/atau untuk membantu meringankan beban orang tua atau wali untuk biaya pendidikan.
Mahasiswa ITB pun cukup banyak yang menjadi penerima beasiswa, baik itu beasiswa yang berasal dari pemerintah maupun non pemerintah. Hal ini seperti yang terdapat pada laman resmi ITB mengenai jumlah mahasiswa penerima beasiswa tahun 2018-2022.
Baca Juga: Dunia Pendidikan Indonesia: Raffi Ahmad dan Polemik Pemberian Gelar Guru Besar
Merujuk data di atas, jumlah mahasiswa ITB penerima beasiswa baik yang berasal dari pemerintah maupun non pemerintah cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, walaupun sempat turun.
Tahun 2021 menjadi tahun dengan jumlah mahasiswa penerima beasiswa yang berasal dari pemerintah tertinggi, yakni sebanyak 5.682 mahasiswa. Selanjutnya, jumlah mahasiswa penerima beasiswa yang berasal dari non pemerintah tertinggi terdapat di tahun 2022, yakni sebanyak 3.032 mahasiswa.
Sementara itu, tahun 2019 menjadi tahun dengan jumlah penerima beasiswa pemerintah dan non pemerintah terendah, yakni masing-masing sebanyak 3.545 dan 1.284 mahasiswa.
Kontroversi Kebijakan UKT di ITB Bukan yang Pertama
Isu yang berkaitan dengan keringanan UKT di ITB ini bukan merupakan yang pertama kali terjadi. Pada awal 2024 lalu, ITB sempat menyediakan skema pembayaran UKT berupa cicilan bunga menggunakan platform pinjaman online (pinjol) Danacita.
Menurut Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubai, skema ini memungkinkan mahasiswa terjerat dalam lilitan utang ketika gagal membayar cicilan. Hal ini seperti yang dikutip dari BBC Indonesia.
Belum tuntas perkara tersebut, kali ini ITB kembali menggemparkan dunia pendidikan di Indonesia dengan eksploitasi kerja paruh waktu yang dikemas dalam tajuk “beasiswa”. Beberapa pengamat menilai hal ini sebagai komersialisasi pendidikan atau perbudakan modern karena mahasiswa bekerja secara underpaid yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Walaupun pihak ITB telah merevisi kebijakan tersebut dengan tidak lagi mewajibkan mahasiswa bekerja paruh waktu, para mahasiswa masih was-was dan akan tetap mengawal kebijakan dari kampus tersebut hingga tuntas.
Penulis: Elvira Chandra Dewi Ari Nanda
Editor: Editor