Belakangan ini, media sosial di Indonesia tengah ramai membicarakan sosok “Dokter Detektif,” atau yang lebih dikenal sebagai “Doktif.” Ia adalah dokter anonim yang menyajikan konten-konten viral, membongkar ketidaksesuaian klaim kandungan bahan aktif pada berbagai produk kecantikan populer melalui hasil uji laboratorium yang didukung oleh SIG Laboratory.
Berbagai kontennya menunjukkan bahwa beberapa produk kecantikan tidak memenuhi janji yang tertera di labelnya, terutama pada persentase bahan aktif yang sering diunggulkan dalam produk tersebut.
Hasil uji laboratorium ini membuat konsumen di Indonesia lebih kritis, terlebih di tengah meningkatnya permintaan akan transparansi dalam industri kecantikan. Fenomena ini mengarah pada pertanyaan besar: apakah kredibilitas brand-brand kecantikan ternama akan terpengaruh oleh temuan “Doktif”? Apakah standar kecantikan ideal yang dipasarkan lewat produk-produk tersebut membentuk citra diri yang tidak realistis?
Memahami Klaim Berlebih dan Dampaknya pada Citra Kulit
Klaim berlebih atau overclaiming pada produk skincare adalah saat suatu merek memasarkan persentase bahan aktif yang tidak sesuai dengan kandungan aktualnya. Sebagai contoh, produk yang mengklaim mengandung 10% vitamin C walaupun uji laboratorium menunjukkan hanya 5%.
Ketidaksesuaian ini bukan hanya mengecewakan, tetapi juga membentuk ekspektasi yang tidak realistis pada konsumen, seolah-olah kulit yang sempurna bisa dicapai hanya dengan menggunakan produk tersebut.
Dalam banyak kasus, konsumen yang mengandalkan produk dengan klaim tinggi ini mengalami kerugian finansial dan emosional. Mereka membeli produk premium dengan harapan tinggi, hanya untuk kecewa ketika hasil yang dijanjikan tidak terlihat. Pada akhirnya, ini dapat mengganggu kepercayaan diri, membuat konsumen merasa bahwa masalah kulit mereka tidak dapat teratasi atau bahwa mereka tidak memenuhi standar kecantikan yang dipromosikan.
Ketidaksesuaian ini bukan hanya mengecewakan konsumen yang mengira produknya lebih efektif, namun juga menimbulkan kerugian finansial, mengingat banyak produk skincare premium yang dijual dengan harga cukup tinggi.
Praktik klaim berlebih ini juga melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 8 huruf f yang menyebutkan bahwa, “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.”
Dengan demikian, jika terbukti melanggar, brand skincare yang mempromosikan kandungan berlebih tanpa dukungan fakta bisa dikenai sanksi hukum, yang mencakup penarikan produk dari pasaran atau bahkan pembatalan izin edar.
Dalam sejumlah konten yang diunggah di TikTok, “Doktif” menunjukkan perbandingan antara klaim dan hasil uji laboratorium berbagai produk skincare, baik lokal maupun internasional. Bahan-bahan aktif yang sering mengalami klaim berlebih antara lain retinol dan niacinamide—semua bahan ini cukup populer dan sering kali diunggulkan dalam strategi pemasaran produk skincare. Temuan ini memunculkan kenyataan bahwa merek-merek ternama yang selama ini diandalkan konsumen tidak selalu jujur tentang kadar kandungan bahan aktifnya.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut ini adalah contoh beberapa produk yang menunjukkan adanya klaim berlebih pada kandungan bahan aktif berdasarkan hasil uji yang diunggah pada akun Tiktok “Doktif”.
Diagram di atas menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan antara klaim yang dipasarkan dengan kandungan aktual, yang dapat memicu pertanyaan dari konsumen tentang transparansi brand. Fakta ini semakin menekankan pentingnya edukasi bagi konsumen agar tidak mudah terpengaruh oleh klaim yang mungkin dilebih-lebihkan.
Dampak bagi Konsumen dan Standar Industri Kecantikan
Dampak dari temuan “Doktif” ini sangat besar terhadap kepercayaan konsumen. Menurut laporan dari AgilityPR, brand yang menghadapi isu transparansi seperti ini berpotensi mengalami penurunan reputasi.
Ketika konsumen mengetahui bahwa produk yang mereka beli tidak memenuhi klaim kandungan, kredibilitas brand tersebut sontak anjlok. Selain itu, ada kemungkinan konsumen akan beralih ke produk yang lebih transparan dan jujur dalam klaimnya, mengingat kini mereka lebih sadar akan pentingnya memilih produk skincare yang terjamin kualitasnya.
Fenomena “Doktif” ini menjadi pengingat bagi konsumen untuk selalu kritis dan berhati-hati dalam memilih produk kecantikan. Menurut SproutSocial, transparansi merek akan menimbulkan reaksi positif dari konsumen.
Tercatat sebesar 53% konsumen akan mempertimbangkan untuk membeli kembali dan 42% konsumen akan merekomendasikan kepada teman atau kerabat. Brand kecantikan juga perlu meninjau kembali kebijakan mereka terkait klaim kandungan agar tetap transparan dan menjaga kepercayaan konsumen.
Di sisi lain, semakin banyaknya kasus klaim berlebih yang terungkap ini dapat mendorong pemerintah, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), untuk mengawasi industri kecantikan dengan lebih ketat. Fenomena ini juga dapat menjadi titik awal untuk memperketat regulasi industri kosmetik, khususnya yang berhubungan dengan informasi pada label dan iklan produk.
BPOM sebagai badan regulator memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi pada brand yang terbukti melanggar aturan, mulai dari peringatan hingga penarikan produk dari pasaran. Bahkan, dalam beberapa kasus, izin edar bisa saja dicabut demi melindungi konsumen dari informasi yang menyesatkan.
"Kalau industri melakukan pelanggaran, ini juga kita lakukan tindakan sesuai ketentuan. Apakah peringatan, apakah penghentian sementara kegiatan, atau penarikan produk, atau bahkan pemusnahan dan pembatalan izin edar," ujar Mohamad Kashuri selaku Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM pada Kamis (24/10/2024), mengutip Detik.
Pentingnya Edukasi Konsumen
Kashuri juga mengimbau bahwa dengan meningkatnya tuntutan konsumen akan transparansi, semakin penting untuk mengedukasi konsumen agar lebih kritis dalam memilih produk skincare. Gerakan skin positivity yang mendorong konsumen untuk mencintai dan merawat kulit alami mereka bisa menjadi antitesis dari klaim-klaim berlebih dalam industri ini.
Dengan memahami bahwa tidak ada produk ajaib yang memberikan hasil instan, konsumen dapat mulai memandang kecantikan kulit secara realistis dan sehat.
"Jangan tergiur kaitannya dengan iklan atau promosi yang tidak rasional. Contoh kalau kosmetik, dapat memutihkan dalam waktu 1-2 hari nah itu kan kelihatan bohongnya, ya itu nggak usah dibeli, nggak usah diikuti," ujarnya pada Kamis (24/10/2024), mengutip Detik.
Edukasi ini juga mencakup cara membaca label, memahami istilah yang sering digunakan dalam pemasaran, dan mengecek bahan aktif yang benar-benar terbukti efektif secara ilmiah. Hal ini akan membantu mengurangi tekanan pada konsumen untuk terus mencari produk yang sering kali diklaim “ajaib.”
Baca Juga: Seberapa Banyak Alokasi Budget Orang Indonesia untuk Beli Skincare?
Penulis: Rowena Sofia Z
Editor: Editor