Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka perkawinan anak dalam 3 tahun terakhir mengalami perubahan yang fluktuatif. Pada tahun 2021, perkawinan anak tercatat sebanyak 0,58 %, kemudian menurun cukup signifikan menjadi 0,46% pada tahun 2022. Namun pada tahun 2023, angka perkawinan anak sedikit meningkat menjadi 0,50%.
Dalam perspektif hak anak, perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak (KTA). Praktik sosial perkawinan anak tidak dapat terlepas dari kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Secara luas, perkawinan anak diakui sebagai praktik sosial budaya yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang dapat menghambat anak dalam memperoleh hak-haknya sehingga sangat rentan mengakibatkan kesengsaraan. Selain itu perkawinan anak dapat mengancaman kesehatan fisik dan psikis anak.
“Tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak - hak dasar anak. Tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis bagi anak-anak, perkawinan di usia anak juga dapat memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah hingga ancaman kanker serviks/kanker rahim pada anak," tutur Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan KemenPPPA Titi Eko Rahayu dalam Siaran Pers KemenPPPA (26/01).
Dispensasi Perkawinan
Pemerintah telah berupaya untuk melindungi hak anak dengan menaikan batas usia pada pernikahan anak, salah satunya yaitu dengan merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan, yang di mana asalnya pernikahan bisa dilakukan ketika laki-laki berusia 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun menjadi berusia 19 tahun untuk keduanya.
“Amandemen terhadap Undang-Undang Perkawinan di tahun 2019 di mana usia minimum perkawinan bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun menjadi upaya pemerintah mencegah anak-anak menikah terlalu cepat. Namun di lapangan, permohonan pengajuan perkawinan masih terus terjadi dan ini sudah sangat mengkhawatirkan. Anak-anak adalah harapan masa depan untuk membangun Indonesia dan kasus perkawinan anak menjadi penghambat besar,” lanjut Titi lagi.
Dispensasi kawin diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 5 Tahun tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa pihak yang berhak mengajukan permohonan dispensasi kawin adalah orang tua atau wali.
Dalam CATAHU Komnas Perempuan, jumlah dispensasi kawin terlihat menurun. Pada tahun 2021 terdapat 59.709 yang mengajukan dispensasi anak, lalu pada tahun berikutnya mengalami kenaikan dengan total 52.338.
Pada tahun 2023 angka dispensasi mengalami penurunan. Ini menunjukkan berjalannya kebijakan dan implementasi dari UU No. 19 tahun 2019. Namun di sisi lain, pemberian dispensasi kawin bisa dikeluarkan karena alasan mendesak.
Alasan Dispensasi Perkawinan
BADILAG (Badan Peradilan Agama) pada 2022 mencatat terdapat 52.095 permohonan dispensasi kawin yang dikabulkan. Data ini sedikit berbeda jumlahnya dengan data yang dihimpun Komnas Perempuan yang tercatat sebanyak 52.338 kasus. Adapun alasan utamanya adalah alasan cinta dengan total 34.987 permohonan, disusul alasan hamil sebesar 13.457 permohonan.
Faktor ekonomi masih menjadi alasan dispensasi perkawinan dengan 2.406, diikuti alasan intim atau sudah merasa terlalu dekat dengan angka 1.132 dan alasan jodoh dengan 113 kasus. Berdasarkan data tersebut, alasan yang paling mendominasi adalah karena cinta dan hamil.
Kesadaran mengenai kesehatan reproduksi, akses pendidikan yang belum merata, serta pola asuh orang tua menjadi hal penting dalam penanganan isu perkawinan anak.
“Ada 4 masalah yang melatar belakangi kehamilan anak yang akhirnya mendorong perkawinan anak. Pertama, kesulitan hidup di keluarga serta tidak mendapat pola pengasuhan yang baik. Kedua, anak tidak mendapat dukungan positif dari keluarga, komunitas dan kelompok sebaya. Ketiga, anak tidak memiliki kemampuan menimbang resiko kehamilan dan keempat anak memandang perkawinan sebagai cara untuk menikmati masa remaja," ungkap Andrea, selaku perwakilan PUSKAPA (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak) Universitas Indonesia, dalam siaran pers KemenPPA.
Bahaya Perkawinan Anak
Perkawinan anak merupakan isu kompleks karena disebabkan beberapa faktor seperti faktor ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Komnas Perempuan mencatat beberapa hal yang menjadi alasan perkawinan anak tidak dilanggengkan.
Pendidikan
Anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun memiliki kemungkinan empat kali lebih sedikit untuk menyelesaikan Pendidikan sekolah menengah.
Kekerasan dan Perceraian
Perkawinan anak lebih rentan mengalami KDRT dan perceraian karena belum siapnya mental.
Angka Kematian Ibu (MMR)
Komplikasi selama kehamilan dan persalinan merupakan penyebab kematian kedua terbesar pada anak berusia 15 hingga 19 tahun dan ibu baru juga rentan mengalami kerusakan pada organ reproduksinya saat melahirkan.
Angka Kematian Bayi (AKB)
Bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari. 1,5 kali lebih besar dibandingkan ibu berusia 20-30 tahun.
Seiring dengan masih banyaknya perkara permohonan dispensasi kawin, para hakim harus dapat menyikapinya dengan baik dengan mempertimbangkan berbagai alasan yang diajukan disertai dengan dampak-dampak yang dapat terjadi jika dispensasi kawin dikabulkan.
Selain itu, untuk dapat mewujudkan Indonesia Emas 2045, perlu adanya kolaborasi dari dinas terkait, orang tua dan lingkungan sekitar anak mengenai penurunan angka perkawinan anak tiap tahunnya. Dimulai dari mitigasi sampai penanganan terbaik ketika perkawinan anak sudah berlangsung.
“Permasalahan perkawinan usia anak ini membutuhkan sinergi antar Kementerian dan Lembaga yang juga melibatkan anak muda, serta pentingnya memperhatikan hulu, hilir serta perencanaan Pembangunan yang berspektif gender dan melihat kepentingan terbaik bagi anak," pungkas Andi Faizah selaku Program Officer Inequality, partnership and Membership INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) dalam siaran pers INFID (24/09).
Baca Juga: Perkawinan Anak: Realitas di Kota dan Desa dalam Angka
Penulis: Nafarozah Hikmah
Editor: Editor