Pada debat perdana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2024, calon gubernur nomor urut 2 Dharma Pongrekun, membuat pernyataan kontroversial dengan menyebut pandemi COVID-19 sebagai "agenda terselubung dari asing" yang bertujuan mengambil alih kedaulatan bangsa.
"Pandemi ini adalah agenda terselubung dari asing untuk mengambil alih kedaulatan, sehingga terlihat sekali begitu rapuhnya bangsa ini," ucap Dharma saat debat pertama Pilkada DKI Jakarta 2024, Minggu (6/10/2024).
Pernyataan tersebut sejalan dengan narasi konspirasi global yang berkembang selama pandemi, yang menyebut pandemi sebagai bagian dari rencana terstruktur atau yang dikenal dengan istilah “plandemic.” Namun, bagaimana fakta sebenarnya?
Setelah ditelusuri, klaim ini sejatinya tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Berbagai studi dan penelitian yang dipublikasikan oleh komunitas ilmuwan global mendukung bahwa COVID-19 adalah penyakit yang muncul secara alami.
Penelitian di jurnal Cell and Science bahkan menegaskan bahwa virus tersebut kemungkinan besar berasal dari hewan sebelum menular ke manusia, tanpa bukti adanya rekayasa atau rencana terselubung.
Selain itu, klaim semacam ini turut menyuburkan infodemik—banjir informasi yang tidak akurat—yang menimbulkan dampak negatif bagi penanganan pandemi. Infodemik yang terdiri dari rumor, teori konspirasi, dan stigma sosial terus menyebar luas, menghambat upaya-upaya penanganan kesehatan masyarakat serta memperparah kondisi krisis kesehatan.
Infodemik COVID-19 di Indonesia
Berdasarkan American Journal of Tropical Medicine and Hygiene tahun 2020, Indonesia, seperti negara-negara lain, tidak terlepas dari gelombang infodemik selama pandemi. Menurut laporan tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah infodemik yang cukup signifikan, yakni sekitar 440 laporan infodemik terkait COVID-19 yang terdiri dari rumor, teori konspirasi, dan stigma.
Berdasarkan distribusi kategori infodemik di Indonesia, rumor terkait illness, transmission, and mortality (penyakit, penularan, dan kematian) mendominasi, proporsinya mencapai 24%. Isu ini mencakup klaim-klaim palsu mengenai cara penularan COVID-19 dan tingkat kematiannya. Misalnya, rumor yang menyebut bahwa virus corona bisa menyebar melalui sinyal 5G atau melalui barang-barang impor.
Selain itu, kategori control interventions (intervensi kontrol) yang mencakup langkah-langkah pencegahan dan pengendalian virus seperti kebijakan lockdown dan vaksinasi, juga menduduki porsi besar, yakni 21%. Hal ini memperlihatkan betapa banyaknya kesalahpahaman di kalangan masyarakat terkait efektivitas kebijakan kesehatan pemerintah dalam menanggulangi pandemi.
Baca Juga: Sebelum COVID-19, Wabah-wabah Mematikan Ini Pernah Terjadi
Sementara itu, dari 2.276 laporan global yang memiliki penilaian teks, 1.856 klaim terbukti salah (82%), 204 klaim benar (9%), 176 klaim menyesatkan (8%), dan 31 klaim tidak terbukti (1%). Sebagian besar rumor, stigma, dan teori konspirasi berasal dari India, Amerika Serikat, China, Spanyol, Indonesia, dan Brasil.
Isu yang cukup memprihatinkan adalah yang menyesatkan (stigma dan diskriminasi), yang mencapai sekitar 8% dari infodemik dunia. Kasus ini sering terjadi pada tenaga kesehatan, pasien, serta orang-orang yang terduga terpapar virus. Stigma semacam ini mempersulit upaya penanganan kesehatan karena masyarakat cenderung enggan memeriksakan diri atau mengungkap riwayat kesehatan mereka secara terbuka.
Distribusi Infodemik Terkait COVID-19 di Dunia
Dalam skala global, infodemik terkait COVID-19 juga melanda banyak negara. Berdasarkan data yang dihimpun dari 87 negara, ada sekitar 2.311 laporan infodemik yang tersebar dari berbagai platform media sosial. Negara-negara dengan jumlah infodemik tertinggi antara lain India, Amerika Serikat, dan China.
India menjadi negara dengan jumlah infodemik tertinggi, mencapai 700 laporan yang sebagian besar didominasi oleh rumor, dengan jumlah 650. Diikuti oleh Amerika Serikat dengan 600 laporan, dan China dengan 495 laporan. Amerika Serikat dan India juga menjadi pusat penyebaran teori konspirasi dan stigma, dengan 60 dan 50 laporan teori konspirasi, serta 30 laporan terkait stigma di India.
Rumor paling umum di berbagai negara biasanya terkait dengan penularan COVID-19, penyembuhan, serta pengobatan alternatif yang tidak terbukti secara medis. Misalnya, di India, tersebar klaim bahwa meminum air kencing sapi dapat menyembuhkan COVID-19. Sementara di Amerika Serikat, beredar rumor bahwa virus ini merupakan senjata biologis yang sengaja dilepaskan untuk melemahkan ekonomi global, terutama China.
Infodemik juga memperburuk penanganan pandemi di negara-negara berkembang. Di Afrika, beredar rumor bahwa konsumsi teh herbal dan penggunaan minyak esensial bisa menyembuhkan COVID-19. Di Timur Tengah, beberapa teori bahkan menyebut pandemi ini sebagai konspirasi untuk menghancurkan kota-kota suci di Iran.
Dampak Infodemik dan Pentingnya Penanganan yang Tepat
Penanganan terhadap infodemik sama pentingnya dengan penanganan krisis kesehatan. Infodemik dapat memengaruhi perilaku masyarakat, dari mulai menolak vaksinasi hingga melakukan tindakan berbahaya seperti minum cairan beracun yang diklaim dapat membunuh virus.
Penelitian dari jurnal yang sama menemukan bahwa 800 orang di seluruh dunia meninggal karena mengikuti informasi keliru terkait COVID-19, dan lebih dari 5.800 orang lainnya dirawat di rumah sakit.
Oleh karena itu, berbagai lembaga kesehatan internasional, termasuk WHO, merekomendasikan pemantauan intensif terhadap penyebaran infodemik. Penggunaan media sosial untuk melacak rumor dan teori konspirasi secara real-time telah terbukti efektif dalam meminimalisir dampaknya. Penting bagi masyarakat untuk terus meningkatkan literasi digital dan mengandalkan sumber informasi yang kredibel.
Dalam kasus seperti klaim Dharma Pongrekun, sangat penting untuk selalu mengklarifikasi sebuah pernyataan dengan data dan bukti ilmiah agar tidak memperburuk situasi dengan informasi yang tidak akurat. Pandemi COVID-19 adalah krisis kesehatan nyata yang menuntut kesadaran bersama untuk mengikuti panduan berbasis sains dalam menghadapinya, bukan terjebak pada teori konspirasi yang justru merugikan banyak pihak.
Baca Juga: COVID-19 Mencapai 200 Kasus di Indonesia, Masyarakat Diimbau Taat Prokes
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor