Banyak kisah tersimpan dibalik satu dekade Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin Indonesia. Salah satu yang disorot adalah kondisi penegakan hukumnya. Tak jarang masyarakat memandang penegakan hukum Indonesia masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah, malah memberatkan kelompok sosial tertentu alih-alih berlaku adil dan tidak memihak sebagaimana mestinya.
Di Indonesia, terdapat beberapa kasus yang sempat membuat heboh warganet akibat penegakan hukumnya yang dipandang tidak adil. Sebut saja, kasus pencurian sandal jepit seharga Rp30 ribu di Palu, Sulawesi Tengah pada 2019 lalu. Awal kisah, tersangka yang merupakan anak kecil sedang berjalan di zebra cross ketika melihat sandal jepit di depan sebuah kos-kosan. Lantas, ia pun membawa pulang sandal tersebut.
Enam bulan berlalu, setelah dipermasalahkan oleh pemiliknya, sandal itu pun dikembalikan. Bukannya berakhir damai, kasus ini malah dibawa ke pengadilan dan si anak terancam bui 5 tahun. Akhirnya, hakim memutuskan untuk mengembalikan si anak ke orang tuanya.
Dengan ancaman penjara 5 tahun yang dihadapi ketika mencuri sandal Rp30 ribu, tentu saja koruptor-koruptor yang menimbulkan kerugian hingga miliar rupiah akan dihukum lebih berat bukan? Salah. Menurut Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020, koruptor dengan kerugian sebesar Rp25 miliar hingga Rp100 miliar akan dikenakan hukuman penjara 8-16 tahun, tergantung tinggi rendahnya kesalahan.
Meski begitu, menurut pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata pidana terdakwa korupsi tahun 2022 hanya selama 3 tahun 4 bulan. Padahal, total kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp48,79 triliun di tahun yang sama.
Kasus ini sempat viral di kalangan masyarakat lantaran penegakan hukumnya yang dipandang tidak adil, mengingat pencurian sandal merupakan ordinary crime (kejahatan biasa) sedangkan korupsi termasuk extraordinary crime (kejahatan luar biasa).
Tidak hanya itu, kasus nenek berusia 92 tahun yang dipenjara akibat menebang pohon durian juga sempat menjadi buah bibir. Nenek tersebut divonis penjara 1 bulan 14 hari lantaran menebang pohon durian milik kerabatnya, Japaya. Sontak, isu terkait ketidakadilan hukum menyeruak.
Fenomena ini lantas menimbulkan tanda tanya, bagaimana sejatinya persepsi masyarakat terkait penegakan hukum di era Jokowi ini?
Persepsi Masyarakat Terkait Penegakan Hukum di Era Jokowi
Indikator Politik Indonesia menggelar survei Evaluasi Publik Terhadap 10 Tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 22-29 September 2024. Survei tersebut melibatkan 3.540 responden dari 11 provinsi Indonesia meliputi Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Hasilnya, mayoritas responden menilai penegakan hukum saat ini sudah baik. Sebanyak 39,3% menyatakan kondisi penegakan hukum sudah baik, 2,5% menilai sangat baik, dan 33,7% menilai sedang. Sementara itu, 19,9% menilai penegakan hukum di Indonesia buruk, 2,9% sangat buruk, dan 1,6% memilih tidak tahu/tidak menjawab.
Dari tahun ke tahun, persepsi positif terkait penegakan hukum di Indonesia terus meningkat. Survei terakhir yang diadakan pada bulan Juli lalu menangkap persepsi positif sebesar 39,2% terhadap penegakan hukum di Indonesia, naik menjadi 41,9% di survei terbaru per September ini.
Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat merasa puas dengan kondisi penegakan hukum saat ini. Memang tingkat kejahatan seperti praktik korupsi dan ketidakadilan hukum masih terus berjalan. Namun tingginya sentimen positif ini mencerminkan apresiasi masyarakat terhadap kinerja Jokowi dalam memastikan hukum di Indonesia berdiri dengan tegas.
Sesuai dengan sila kelima dari Pancasila, setiap lapisan rakyat Indonesia berhak mendapatkan keadilan secara sosial, termasuk di hadapan hukum. Sentimen positif terkait kondisi penegakan hukum di Indonesia ini diharapkan bisa terus dipertahankan di era-era kepemimpinan mendatang.
Baca Juga: Penduduk Indonesia Tidak Tahu Pemerintah Sediakan Bantuan Hukum Gratis
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor