50% Wanita Korbankan Mimpinya, Kesetaraan Gender dalam Rumah Tangga Masih Rendah?

Proporsi ibu yang bekerja terus menurun, bagaimana cara mencapai kesetaraan gender di dalam rumah tangga?

50% Wanita Korbankan Mimpinya, Kesetaraan Gender dalam Rumah Tangga Masih Rendah? Ilustrasi Kesetaraan Gender | Freepik

Ibu adalah segalanya. Tanpa kehadiran seorang ibu, kehidupan tidak akan berjalan seperti biasanya. Ia menjadi sosok sangat penting dalam setiap rumah tangga, dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga.

Meski begitu, dalam beberapa situasi, seorang perempuan terpaksa mengorbankan mimpinya demi berumah tangga, jauh lebih sering dibandingkan seorang ayah. Pada akhirnya, terbatasnya kebebasan untuk bermimpi ini menyulutkan sejumlah tanda tanya terkait hak perempuan dalam memperoleh kesetaraan, yang kini diperjuangkan melalui istilah feminisme.

Mengutip LBH Jakarta, feminisme diartikan sebagai sebuah pemahaman yang memandang bahwa setiap gender harus memiliki kesetaraan. Mengorbankan mimpi untuk keluarga menjadi salah satu isu yang banyak diperjuangkan gerakan feminisme akhir-akhir ini.

Ketika perempuan memutuskan untuk memulai sebuah keluarga, mereka biasanya dihadapkan dengan keputusan sulit, antara melanjutkan karier atau fokus pada peran sebagai ibu. Hal ini terasa lebih nyata ketika melihat data perempuan yang bekerja dalam beberapa tahun terakhir, terutama di DKI Jakarta.

Persentase Laki-laki dan Perempuan yang Bekerja dalam Rumah Tangga

Persentase perempuan yang bekerja di dalam rumah tangga masih lebih dikit dibanding laki-laki | GoodStats

Secara keseluruhan, data di atas menunjukkan bahwa masih lebih banyak laki-laki yang bekerja dibandingkan perempuan. Data tersebut menggambarkan penurunan signifikan dalam persentase perempuan yang bekerja.

Pada tahun 2020, sebanyak 60,38% perempuan di DKI Jakarta aktif bekerja. Namun, angka ini menurun drastis menjadi 45,01% pada tahun 2023. Sebaliknya, proporsi laki-laki yang bekerja relatif stabil, menurun hanya sedikit dari 89,72% pada tahun 2020 menjadi 85,80% pada tahun 2023.

Hal ini membuktikan bahwa masih banyak perempuan di dalam rumah tangga yang harus mengurangi jam kerja atau bahkan meninggalkan mimpi dan pekerjaan mereka untuk mengurus keluarga.

Penurunan ini tidak hanya mencerminkan tantangan pribadi yang dihadapi oleh seorang ibu, tetapi juga kekurangan dalam dukungan struktur sosial dan kebijakan kerja yang ada. Pada akhirnya, fenomena ini kembali mempertanyakan kesetaraan hak antara ibu dan ayah dalam berumah tangga.

Komunikasi Terjalin, Ketidaksetaraan Minim Terjadi

Tercapainya kesetaraan dalam berumah tangga tidak dapat dilihat hanya dari sudut pandang finansial dan ruang publik saja, tetapi dilihat dari kualitas hubungannya. Kualitas yang dimaksud tercipta komunikasi yang terjalin di antara suami dan istri, seperti saling menghargai, memahami, dan memberi kesempatan satu sama lain.

Dalam menghadapi fenomena seorang ibu yang harus merelakan pekerjaan atau mimpinya demi berumah tangga, istilah kesetaraan gender akan dipertanyakan apabila hubungan komunikasi tidak berjalan dengan baik.

Apabila seorang ibu telah memutuskan untuk berhenti bekerja atau bermimpi, sang suami pun harus memahami situasi tersebut dengan bertindak secara adil, seperti selalu memberikan ruang diskusi dan negosiasi dalam setiap mengambil keputusan.

Selain itu, setiap pasangan juga harus saling memberikan kesempatan untuk satu sama lain agar tidak adanya perasaan ‘tertinggal’ di antara keduanya. Fenomena ketidaksetaraan gender membuat banyak wanita dituntut untuk memilih antara karier dan peran sebagai ibu.

Meskipun banyak perempuan telah memasuki dunia kerja dan membuat kontribusi yang signifikan, mereka sering kali dihadapkan pada norma sosial yang menempatkan tanggung jawab utama pengasuhan anak pada mereka.

Pada akhirnya, keputusan untuk tetap bekerja atau berhenti untuk mengurus keluarga tidak lagi ada di tangan wanita, melainkan di tangan masyarakat.

Semua Orang Bebas untuk Bermimpi

Semua orang bebas untuk bermimpi, begitu pun semua perempuan di dunia ini. Menjadi ibu memanglah sebuah kewajiban, tetapi memiliki impian dapat memberikan kebahagiaan dalam hidup. Bagi para perempuan di luar sana, berumah tangga tidak seharusnya menjadi penghalang kebahagiaan.

Namun, setiap wanita berhak memutuskan, dan memilih tidak bekerja untuk berumah tangga bukanlah keputusan yang buruk. Semuanya kembali lagi pada tujuan dan dukungan yang diberikan oleh setiap pasangan.

Dengan demikian, setiap pasangan harus bisa menjadi penentu arah dalam membantu terwujudnya mimpi pasangan lainnya. Bukan hanya sebatas dukungan finansial, tetapi dukungan mental dan kebahagiaan.

Baca Juga: ⁠Tren Fatherless Meningkat, Apakah Ibu Lebih Berjasa Dibanding Ayah?

Penulis: Zakiah machfir
Editor: Editor

Konten Terkait

Penyakit Jantung Jadi Penyakit yang Paling Ditakuti Orang Indonesia

Kekhawatiran terhadap penyakit fisik ini menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran akan pencegahan dan penanganan dini untuk menjaga kesehatan yang lebih baik.

Potensi Stress dan Gangguan Tidur Menjadi Kekhawatiran Masyarakat Indonesia

Dengan semakin beragamnya penyakit mental yang muncul, penting untuk lebih meningkatkan kesadaran dan pemahaman terkait kondisi ini.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook