Anggota DPR, DPD, dan MPR RI masa jabatan 2024-2029 baru saja dilantik pada 1 Oktober kemarin. Dalam momen tersebut, 732 anggota DPR, DPD, dan MPR terpilih mengucap sumpah jabatan, dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
Dari 732 anggota, 580 di antaranya merupakan anggota DPR RI. Penetapan perolehan kursi DPR ini sebetulnya sudah dilakukan pada 25 Agustus lalu.
Pada periode ini, PDI-Perjuangan (PDIP) kembali menjadi partai dengan perolehan kursi terbanyak, yaitu 110 kursi. Partai berlambang kepala banteng ini telah menjuarai perolehan kursi DPR tiga periode berturut-turut. Hanya saja, kali ini PDIP menjadi partai oposisi dari Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
PDIP mendapat 25.384.673 suara pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2024. Sementara itu, di posisi kedua adalah Partai Golkar dengan 23.208.488 suara. Gerindra di peringkat ketiga mendapat 20.071.345 suara.
Meskipun mendapat perolehan suara dan kursi paling banyak, kepemilikan kursi PDIP sebagai partai oposisi tidak sebanding dengan suara dan kursi partai Koalisi Indonesia Maju Plus.
Koalisi Indonesia Maju Plus terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, Gelora, Garuda, Prima, PKS, PKB, PPP, Perindo, dan Nasdem. Koalisi yang sangat gemuk ini memiliki kekuatan suara yang sangat besar di kursi DPR.
Dominasi Partai Koalisi di DPR RI
Pada periode sebelumnya, partai koalisi presiden juga menguasai kursi DPR. Ada 9 partai yang memenuhi ambang batas dan PDIP memperoleh suara paling banyak saat itu, mencapai 19,33%.
Presiden terpilih Joko Widodo dan Ma’ruf Amin kala itu didukung oleh koalisi dengan 10 partai. Koalisi tersebut juga disebut Koalisi Indonesia Maju, terdiri dari PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Hanura, PKP, Perindo, PSI, dan PBB. Partai koalisi ini pun akhirnya mendominasi DPR.
Akan tetapi, hingga akhir periode, koalisi ini kian menggemuk, hanya menyisakan PKS sebagai partai oposisi pemerintahan.
Apa Dampaknya Jika Koalisi Mendominasi?
Menurut Peneliti Transparency International Indonesia Sahel Muzzammil, tidak adanya oposisi dalam sistem pemerintahan adalah situasi yang berbahaya. Daripada kelompok oposisi di parlemen, perbedaan pendapat akan lebih banyak diartikulasikan oleh masyarakat di media sosial maupun dengan unjuk rasa.
Hal ini juga akan melemahkan fungsi pengawasan lembaga-lembaga yang harusnya berdiri secara independen.
Sahel menyampaikan bahwa penyebab minimnya oposisi di Indonesia adalah pembagian kekuasaan yang terlalu bebas. Pembentukan koalisi partai di tanah air sangatlah fleksibel meskipun tidak mewakili lapisan pemilih dan konstituen yang berbeda.
Pada periode 2019-2024, partai oposisi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin hanya menyisakan PKS yang bertahan. Terdapat pembagian kekuasaan kepada pihak yang awalnya menentang pemerintahan. Bahkan, rival pada Pilpres 2019 pun bergabung dalam kabinet.
Akibatnya, partai politik menggantungkan aktivitasnya pada keuangan negara dan semakin jauh dari kepentingan publik. Bersamaan dengan itu, tidak ada akuntabilitas vertikal dan responsivitas kebijakan yang memadai.
Contohnya, beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah menuai banyak penolakan dari masyarakat. Dalam arti lain, masyarakat justru tidak merasa terwakili dengan pendapat para parlemen.
Baca Juga: Inilah Parpol dengan Persentase Perempuan di DPR RI 2024 Tertinggi
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor