Saat ini, membakar sampah sembarangan tanpa persyaratan teknis yang sesuai dapat dikenakan hukuman pidana dan denda. Sanksi ini diterapkan untuk memberi efek jera pada para pelaku yang selama ini seenaknya membakar sampah dan mengganggu kenyamanan publik.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kembali mengingatkan masyarakat agar tidak membakar sampah sembarangan secara terbuka. Selain sanksi pidana dan denda, membakar sampah sembarangan dapat mencemari udara dan lingkungan sekitar, menurunkan kualitas udara di wilayah tersebut.
Tidak hanya itu, bukan sekali dua kali kegiatan membakar sampah di tanah air berujung pada bencana yang lebih besar. Pada awal November 2024 ini, sebanyak 78 toko dan 16 rumah warga hangus terbakar akibat terbakarnya Pasar Jargaria di Kabupaten Kepulauan Aru, yang diduga kuat akibat pembakaran sampah. Meski tidak ada korban jiwa, kerugian materiil dari peristiwa ini tentunya sangat besar.
Selain itu, terjadi pula kebakaran lahan di Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Demak, pada akhir Oktober 2024 lalu akibat pembakaran sampah di lahan terbuka. Di Kabupaten Malang, 10 ekor bebek hangus terbakar dan 1 kambing terluka akibat pembakaran sampah sisa makanan kambing di awal November lalu. Banyaknya kasus kebakaran akibat pembakaran sampah yang lalai ini menggarisbawahi kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih banyak membakar sampah sembarangan, meski telah jelas bahwa membakar sampah dapat dikenakan sanksi pidana.
Aturan terkait sanksi pidana bakar sampah sembarangan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pada pasal 40 ayat (1), disebutkan bahwa pelaku yang melakukan kegiatan pengelolaan sampah tanpa memperhatikan norma, standar, prosedur, atau kriteria yang ada terancam hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp5 miliar. Adapun membakar sampah termasuk salah satu hal yang dilarang dalam UU tersebut.
Tidak hanya itu, pelaku juga bisa dikenakan pasal berlapis pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berdasarkan Pasal 98 dengan hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp10 miliar.
Selain aturan di atas, beberapa pemerintah daerah juga telah menegaskan wewenang sendiri terkait sanksi pidana bakar sampah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menuangkannya dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah yang melarang setiap orang untuk membakar sampah yang mencemari lingkungan.
Pada aturan yang sama, di pasal 30 ayat (b) disebutkan bahwa sanksi bagi mereka yang membakar sampah sembarangan adalah denda sebesar Rp500 ribu.
Meski begitu, menurut Survei Kesehatan Indonesia 2023 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, mayoritas sampah di Indonesia masih dikelola dengan cara dibakar.
57% Sampah Indonesia Masih Dibakar
Menurut Kementerian Kesehatan, pengelolaan sampah rumah tangga Indonesia bisa dibagi ke dalam 3 bagian, yakni penanganan sampah, pengurangan sampah, dan sampah tidak terkelola dengan baik. Penanganan sampah dilakukan dengan membawa sampah ke tempat pembuangan sementara (TPS) atau diangkut petugas, sementara pengurangan sampah dilakukan dengan daur ulang, pembuatan kompos, dan disetor ke bank sampah.
Terakhir, sampah tidak terkelola dengan baik adalah sampah yang dibuang sembarangan ke kali/sekolah, ditimbun, hingga dibakar. Berdasarkan metode pengelolaannya, sebanyak 57,2% sampah rumah tangga di Indonesia masih dibakar di 2023.
Adapun provinsi dengan proporsi sampah dibakar tertinggi dipegang oleh Aceh, di mana 77,3% sampah rumah tangga di sana dikelola dengan cara dibakar. Gorontalo berada di urutan kedua dengan proporsi mencapai 77,1%. Sementara itu, DKI Jakarta justru menjadi provinsi dengan proporsi sampah dibakar paling rendah di 2023. Hanya 1,2% sampah di provinsi tersebut yang dibakar.
Selain dibakar, mayoritas sampah rumah tangga di Indonesia dikelola dengan cara diangkut oleh petugas, proporsinya mencapai 27,6%. Metode pengelolaan lain yang turut dipakai adalah dibuang sendiri ke TPS (8,7%), dibuang ke kali/selokan (2,8%), dibuang sembarangan (2,3%), ditimbun (0,7%), dibuat kompos (0,3%), disetor ke bank sampah (0,3%), dan didaur ulang (0,1%).
Tidak hanya itu, SKI 2023 mencatat bahwa mayoritas pengelolaan sampah rumah tangga di Indonesia masih tidak baik. Proporsi ini dilihat dari metode pengelolaan sampah di Indonesia. Pengelolaan sampah dinyatakan baik jika diangkut oleh petugas atau oleh anggota rumah tangga, ditanam di tanah atau dibuat kompos, serta disetor ke bank sampah. Sementara itu, pengelolaan sampah dinyatakan tidak baik jika dibakar, dibuang ke kali/selokan/laut, atau dibuang sembarangan.
Dengan demikian, sebanyak 62,2% sampah rumah tangga di Indonesia masuk kategori pengelolaan yang tidak baik, sedangkan hanya 37,8% yang masuk kategori pengelolaan yang baik. Tingginya proporsi sampah yang dikelola dengan tidak baik ini menggambarkan kurangnya literasi terkait pengelolaan sampah yang benar sesuai dengan aturan yang berlaku. Sampah yang dibuang tanpa dikelola dengan baik pada akhirnya akan merusak lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Lantas, Bagaimana Cara Mengelola Sampah yang Baik?
Seperti yang disinggung dalam SKI 2023, ada beberapa metode pengelolaan sampah yang baik. Pertama adalah melalui penanganan sampah yang dilakukan melalui bantuan petugas atau dibuang sendiri ke tempat penampungan sementara terdekat. Selain itu, beberapa jenis sampah tertentu juga bisa didaur ulang, dibuat kompos, atau disetor ke bank sampah sebagai bentuk pengurangan sampah.
Biasanya sampah kaca, plastik, kertas, logam, tekstil, dan barang elektronik dapat didaur ulang. Sampah-sampah tersebut bisa digunakan kembali, entah menjadi produk utamanya seperti sampah bekas botol air minum yang bisa didaur ulang menjadi botol minum kemasan lagi, atau menjadi produk sekunder seperti serat untuk tekstil atau bahan dasar produk plastik.
Sementara itu, sampah organik dapat dijadikan kompos yang membantu menyuburkan tanah. Namun memang tidak semua sampah organik bisa dijadikan kompos. Sisa daging, ikan, makanan yang sudah diolah termasuk yang sebaiknya jangan dijadikan kompos karena proses dekomposisinya yang lambat dan dapat mengakibatkan penyakit. Sebaliknya, sampah jerami, tanah, sisa ranting, rumput, sisa buah dan sayur mentah, sisa kopi, sisa daun teh, dan cangkang telur sangat disarankan untuk dijadikan kompos karena mengandung karbon dan nitrogen.
Belakangan, ini, pemerintah juga gencar mempromosikan bank sampah sebagai alternatif pengolahan sampah yang aman. Masyarakat cukup membawa sampahnya ke bank sampah terdekat untuk kemudian ditimbang dan ditabung. Masyarakat juga dapat meminjam uang seharga sampah yang disetor. Sampah ini nantinya akan diolah lebih lanjut, entah itu didaur ulang atau dibuang. Beberapa juga dijadikan barang kerajinan.
Baca Juga: NTT Jadi Provinsi yang Paling Banyak Membakar Sampah
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor