DPR RI telah melaksanakan Rapat Paripurna pada Selasa (22/10) lalu. Rapat tersebut membahas perihal jumlah komisi, susunan pimpinan, dan alat kelengkapan dewan lainnya untuk periode 2024–2029.
Melansir Kompas, terdapat 11 komisi serta 2 komisi tambahan dengan bidang tertentu yang telah ditetapkan. Dua komisi baru tersebut yakni Komisi XII akan menaungi bidang ESDM, Lingkungan Hidup, dan Investasi. Kemudian, Komisi XIII berfokus pada bidang Reformasi, Regulasi, dan HAM.
Sesaat susunan tersebut diumumkan, terdapat satu hal yang menjadi perhatian dari para netizen. Jajaran pimpinan Komisi VIII yang menaungi bidang Agama, Sosial, Perempuan, dan Anak tidak ada dari pihak perempuan, meski salah satu fokus utamanya adalah perempuan. Tak lama, netizen membagikan opini–yang mayoritas kontra–tersebut pada media sosial X.
“Komisi yang ngurusin Perempuan & Anak tapi kagak ada perempuannya dih kocakk,” tulis akun X itsqualieggs.
“Tentu saja komisi yang tanggung jawabnya tentang perempuan justru sama sekali nggak ada figur petinggi perempuan. Sungguh masyarakat yang terdepan dalam ngatur-ngatur urusan perempuan tanpa melibatkan keputusan dari perwakilan pihak perempuannya sendiri :),” sindir akun X kleponwajik.
Isu Kesetaraan Gender di Tengah-tengah Masyarakat
Berdasarkan World Economic Forum, terdapat empat dimensi dalam melihat dan menilai kesetaraan gender dalam skala global. Adapun indikator tersebut adalah: partisipasi dan peluang ekonomi; pencapaian pendidikan; kesehatan dan kelangsungan hidup; dan pemberdayaan politik. Kesetaraan gender Indonesia dalam kacamata internasional masih jauh dengan total indeks 0,686 dengan menempati posisi ke-100 dari 146 negara.
Meski begitu, dalam lingkup nasional, Indonesia mulai menunjukan perkembangan pada isu kesetaraan gender dalam enam tahun terakhir. Melansir data Badan Pusat Statistik, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia pada 2023 berada pada 0,447. Penilaian tersebut mempertimbangkan sejumlah dimensi diantaranya: kesehatan reproduksi, pemberdayaan, serta pasar dan tenaga kerja. Angka yang semakin rendah menunjukan perbaikan dalam kesetaraan gender.
Isu kesetaraan gender makin mencuat di kalangan publik dengan adanya gerakan tahunan Women’s March, yang di dalamnya memperjuangkan hak-hak perempuan yang masih sering terabaikan. Kemudian, gerakan tersebut juga menjadi wadah penopang bagi suara-suara yang tidak didengar. Selain itu, diskusi berbasis gender yang diadakan daring maupun luring menambah wawasan dan membentuk persepsi publik akan kesetaraan gender.
Representasi Perempuan dalam Tubuh Parlemen Indonesia
Berdasarkan data ASEAN Gender Outlook, Timor Leste memimpin jumlah partisipasi perempuan dalam politik se-Asia Tenggara, dengan angka mencapai 38% pada 2023. Adanya sistem kuota gender pada pemerintahan setempat menjadikan Timor Leste negara dengan jumlah perempuan terbanyak dalam parlemen.
Sama halnya dengan Timor Leste, Indonesia juga menerapkan sistem kuota terkait hal tersebut. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang salah satu isinya menyebutkan baik pusat, provinsi, dan kabupaten/kota perlu menyertakan minimal 30% perempuan untuk keterwakilan politik. Akan tetapi, penetapan kuota tersebut tak kunjung terpenuhi.
Meski demikian, Indonesia menunjukan progres angka keterlibatan perempuan dalam politik pada kontestasi pemilu tiap empat tahun tersebut. Melansir Detik, pada Pemilu 1999 anggota perempuan DPR RI terpilih hanya 8,2%. Pada Pemilu 2004 angka tersebut menunjukan kenaikan menjadi 11,5%.
Kemudian, pada Pemilu 2009 terdapat 18% anggota perempuan DPR RI, sementara pemilu berikutnya mengalami penurunan angka menjadi 17,3%. Anggota perempuan perlahan menunjukan pertumbuhan yang tinggi dengan angka 20,3% pada Pemilu 2019.
Terbaru pada Pemilu 2024, angka keterwakilan perempuan dalam DPR RI berada pada 21,9% atau 127 anggota perempuan dari total 580 anggota dewan. Ketua DPR RI Periode 2024–2029 Puan Maharani, mengatakan peningkatan keterwakilan ini juga menjadi suatu simbol kemajuan dalam perjuangan pemberdayaan perempuan.
“Pencapaian ini menjadi langkah besar dalam mewujudkan politik yang lebih inklusif dan responsif terhadap berbagai isu, terutama terkait kesetaraan gender,” ujar Puan pada Jumat, (18/10), mengutip Detik.
Perlu Perempuan untuk Perempuan
Perempuan seringkali dihadapi situasi kurang mendukung imbas dari peraturan yang masih netral cenderung bias gender. Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum, menuturkan kebijakan dan regulasi yang dibuat juga belum responsif akibat dari norma, tradisi dan budaya yang ada di lingkungan, ditambah dukungan keluarga dan masyarakat yang masih belum dapat mendorong perempuan memasuki dunia kerja.
“Mendorong peningkatan persentase perempuan yang lebih tinggi di sektor publik memberikan dampak terhadap peningkatan kesetaraan gender di ranah publik, penurunan pelanggaran hak asasi manusia, dan menghapuskan pelanggaran hak atas integritas pribadi perempuan oleh aparat negara,” ucap Lisa pada Selasa, (23/4), mengutip Kemenko PMK.
Kendati susunan pimpinan sudah disahkan, Komisi VIII yang cakupan utamanya termasuk perempuan seharusnya melibatkan pihak perempuan dalam tatanan kepemimpinan agar kebijakan yang dibuat hingga keputusan yang diambil bisa responsif dan inklusif.
“Perempuan di DPR harus bisa membuat sebuah perumusan kebijakan atau undang-undang yang mampu mensejahterakan isu-isu perempuan dan anak. Termasuk dalam mengawal program-program Pemerintahan dan budgeting untuk kepentingan perempuan," tambah Puan pada Jumat (18/10), melansir Detik.
Baca Juga: Perempuan dan Politik di Indonesia
Penulis: Aisyah Fitriani Arief
Editor: Editor