Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), merupakan salah satu destinasi wisata utama di Indonesia. Selain keberadaan warisan budaya dan keramahan penduduk lokal, keindahan alam di DIY juga menjadi daya tarik bagi jutaan wisatawan setiap tahun.
Hal ini membuat ekonomi DIY turut mengalami pertumbuhan yang pesat. Namun, di balik pertumbuhan ekonomi ini, ada satu masalah yang tak kunjung terselesaikan, yakni ketimpangan ekonomi yang masih tinggi.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, pada tahun 2014 hingga 2023, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY terus menunjukkan tren peningkatan.
Kinerja Positif Perekonomian DIY
Pada tahun 2014, tercatat PDRB DIY sebesar Rp79,53 triliun dan mengalami peningkatan menjadi Rp118.63 triliun pada 2023. Pertumbuhan ini menunjukkan betapa dinamisnya perekonomian DIY yang didorong oleh sektor pariwisata yang terus berkembang. Hal ini juga tergambar dari peningkatan PDRB sektor penyediaan akomodasi dan makanan-minuman, dari Rp9,32 triliun pada 2014 menjadi Rp18,40 triliun pada 2023.
Menurut Firsty Ramadhona Amalia Lubis, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Ahmad Dahlan (UAD), pertumbuhan ekonomi DIY yang dihasilkan dari sektor pariwisata juga diharapkan dapat membantu mengurangi tingkat pengangguran dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Namun, nyatanya kenaikan pendapatan dari pariwisata ini tidak sejalan dengan penurunan jumlah penduduk miskin di DIY. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah pertumbuhan ekonomi tersebut benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat DIY.
Kemiskinan yang Tak Kunjung Menurun
Data dalam laporan BPS DIY yang sama menunjukkan, jumlah penduduk miskin di DIY masih cukup tinggi. Pada tahun 2014, jumlah penduduk miskin mencapai 545 ribu orang. Sementara itu, pada 2023, angka tersebut hanya turun sedikit menjadi 448 ribu orang. Penurunan ini sangat kecil dibandingkan dengan peningkatan yang signifikan dalam PDRB dan pendapatan dari sektor pariwisata.
Di sisi lain, ada fenomena menarik atas perpindahan penduduk miskin pedesaan ke perkotaan. Pada tahun 2014, jumlah penduduk miskin di pedesaan sebanyak 212 ribu, sementara di perkotaan mencapai 303 ribu.
Sepuluh tahun kemudian, tahun 2023, jumlah penduduk miskin di pedesaan menurun menjadi 136 ribu, akan tetapi jumlah penduduk miskin di perkotaan justru meningkat menjadi 313 ribu. Kondisi ini digambarkan oleh Aula Ahmad Hafidh Saiful Fikri dalam penelitiannya, bahwa urbanisasi yang terjadi di DIY bukanlah solusi bagi penduduk miskin, melainkan malah menambah jumlah penduduk miskin di perkotaan.
Urbanisasi dan Dampaknya terhadap Ketimpangan Ekonomi
Nashaihul Honey Herawati dalam penelitiannya bertajuk Fenomena Urbanisasi di Kota Yogyakarta sebagai Akar Masalah Sosial menyebutkan, urbanisasi yang terjadi di DIY menggambarkan perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan harapan atas penduduk yang pindah memperoleh pekerjaan dan meningkatkan taraf hidup.
Namun, harapan ini sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini disebabkan, persaingan di kota yang semakin ketat dalam mendapatkan pekerjaan serta lapangan kerja yang tidak mencukupi untuk menampung seluruh penduduk yang datang. Akibatnya, banyak migran dari pedesaan yang justru terjebak dalam kemiskinan di perkotaan.
Hal tersebut juga pernah ditegaskan oleh Nila Warna dalam Kertas Kerja SMERU, bahwa biaya hidup di perkotaan yang lebih tinggi justru menambah beban ekonomi mereka yang berjuang di bawah garis kemiskinan.
Pada kasus DIY, data ini menggambarkan keberadaan perkembangan sektor pariwisata hanya membuat banyak penduduk lokal mendapatkan pekerjaan di sektor informal atau berpenghasilan rendah, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di kota besar.
Tantangan dan Potensi Ekonomi Lokal DIY
“Intinya adalah mengupayakan agar masyarakat bisa secara otonom mengembangkan potensi dan kekayaan desanya untuk mencapai dan mewujudkan kesejahteraan warga. Di mana pertumbuhan ekonomi masyarakat desa harus berada di tangan masyarakat itu sendiri,“ ungkap Sekretaris Daerah DIY, Beny Suharsono dalam sambutan acara "Ekspose Hasil Pemantauan dan Evaluasi Penyelenggaraan Kebijakan Desa/Kelurahan Mandiri Budaya Tahun 2024" di Hotel Grand Rohan Yogyakarta (16/10) dilansir Pemda DIY.
Ketimpangan ekonomi di DIY terlihat melalui data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB dan sektor pariwisata belum berdampak signifikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Tingginya angka kemiskinan dan perpindahan penduduk miskin dari desa ke kota mencerminkan adanya tantangan struktural dalam mengatasi ketimpangan ekonomi di wilayah ini.
Baca Juga: Gini Ratio Maret 2024 Turun, Indikasi Perbaikan Ketimpangan Ekonomi di Indonesia
Penulis: Jannatul L. Mustain
Editor: Editor