Mempekerjakan Anak, Batas Tipis Menunjang Bakat dan Eksploitasi

Rawan eksploitasi, pekerja anak di Indonesia membutuhkan lebih banyak perhatian berbagai pihak. Hingga 2022, pekerja anak mencapai 6,7 juta jiwa.

Mempekerjakan Anak, Batas Tipis Menunjang Bakat dan Eksploitasi Ilustrasi anak-anak Indonesia. Sumber: Getty Images by Kiatanan Sugsompian

Pada 2022, Badan Pusat Statistik mencatat ada 2,44 persen dari 275,7 juta jiwa atau sekitar 6,73 juta anak berusia 10-17 tahun yang bekerja. Angka ini turun dari tahun 2021 yang mencapai 2,63 persen dari total penduduk. Mempekerjakan anak menjadi suatu hal yang berisiko dan diatur dalam perundang-undangan.

International Conference of Labour Statisticians (ICLS) mendefinisikan pekerja anak sebagai penduduk berusia 5-17 tahun yang dalam jangka waktu tertentu, mengalami perlakuan terburuk pekerja anak, melakukan pekerjaan di bawah usia minimum untuk bekerja, atau melakukan pekerjaan rumah tangga berbahaya dan tidak dibayar. 

Akan tetapi di Indonesia, kategori pekerja anak ini disesuaikan menjadi anak berusia 10-12 tahun yang bekerja tanpa batas minimum jam kerja, anak berusia 13-14 tahun yang bekerja lebih dari 15 jam seminggu, atau anak berusia 15-17 tahun yang bekerja lebih dari 40 jam seminggu. Penyesuaian kategori ini karena Indonesia belum memiliki data yang merepresentasikan kategori menurut ICLS. 

Berdasarkan kategori tersebut, Provinsi Gorontalo memiliki persentase tertinggi, yaitu 6,78 persen pekerja anak di wilayahnya. Provinsi Gorontalo mengalami kenaikan 2,5 persen dari tahun 2021. Angka paling rendah diperoleh Provinsi DKI Jakarta, yaitu 0,61 persen.

BPS merilis data pekerja anak di Indonesia pada tahun 2022
10 Provinsi dengan jumlah pekerja anak tertinggi di Indonesia pada tahun 2022

Dalam Pasal 68 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2002 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa “Pengusaha dilarang mempekerjakan anak”. Ketentuan pasal ini mendapat pengecualian yang terinci pada Pasal 69 undang-undang tersebut.

Untuk anak berusia 13-15 tahun diperbolehkan bekerja selama tidak mengganggu kesehatan dan perkembangan fisik, mental, dan sosialnya. Pekerja yang terpaksa mempekerjakan anak harus mendapatkan izin dari orang tua atau wali, membuat perjanjian kerja, memiliki hubungan kerja yang jelas, menjamin keselamatan dan kesehatan kerja, memberi upah sesuai ketentuan, memberi tidak lebih dari tiga jam bekerja, dan tidak mengganggu waktu sekolah.

Dalam undang-undang tersebut, anak diperbolehkan melakukan pekerjaan yang relevan dengan kurikulum pendidikan atau pelatihan oleh pejabat berwenang. Selain itu, anak juga dapat bekerja apabila bertujuan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Berbagai peraturan di bawahnya telah diatur untuk menjamin kesejahteraan anak dalam konteks pekerjaan ini. 

Dengan demikian, memberikan pekerjaan kepada anak dengan situasi tertentu juga memiliki sisi positif, yaitu dapat mengembangkan minat, bakat, atau memperkaya pengalaman. Akan tetapi, proses pelaksanaannya butuh kehati-hatian agar tak terjadi hal buruk pada anak. 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan komitmen untuk menanggulangi kasus pekerja anak dengan moto “Masa Depan Tanpa Pekerja Anak” atau Future without Child Labour. KPAI menyampaikan pentingnya dorongan berbagai pihak, termasuk para pelaku usaha untuk melakukan sosialisasi bagaimana kebijakan menyertakan anak dalam pekerjaan. 

“Kasus eksploitasi pada anak untuk dijadikan pekerja memang cukup banyak, jadi memerlukan sinergi semua pihak,” tutur Ketua KPAI, Ai Maryanti Solihah, dilansir dari Antara News.

Langkah preventif juga harus diupayakan dalam menanggulangi eksploitasi pekerja anak. Ai menilai, pemahaman aspek pencegahan di lingkungan keluarga perlu dilakukan. Hal ini dapat dibarengi dengan asistensi dari pihak berwajib.

Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

9 Calon Gubernur Preferensi Warga Jakarta: Anies Masih Nomor 1

Terdapat 9 nama yang diisukan akan bersaing di Pilkada Jakarta 2024. Apa saja yang menjadi faktor nama tersebut dipilih oleh masyarakat?

Aksi Boikot Produk Terafiliasi Israel: Mengupasnya dari Perspektif Sosiologi & Branding

77,2% orang Indonesia saat ini melakukan boikot terhadap produk terafiliasi Israel. Bagaimana sosiolog dan praktisi branding memandang hal ini?

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook