Belakangan ini, fenomena real food banyak dibicarakan warganet. Banyak warganet yang mengimbau agar memperbanyak konsumsi real food dan mengurangi konsumsi makanan ultra-olahan. Lantas, apa yang dimaksud makanan ultra-olahan?
Makan ultra-olahan (ultra-processed food) pertama kali diperkenalkan oleh peneliti gizi asal Brasil, Carlos A. Monteiro (2009). Makanan ultra-olahan didefinisikan sebagai makanan yang diproduksi oleh industri dengan banyak bahan tambahan dan cenderung sedikit, atau bahkan tidak ada, makanan utuh. Makanan ultra-olahan bisa dengan mudah ditemukan di sekitar, seperti camilan kemasan, makanan cepat saji, dan minuman bersoda.
Biasanya makanan ultra-olahan melibatkan penambahan gula, garam, minyak, lemak, pengawet, pewarna, dan bahan aditif yang tidak digunakan saat memasak di dapur rumah. Penambahan bahan-bahan tersebut ditujukan untuk meningkatkan rasa, tekstur, dan daya tahan produk.
Hasil survei online dengan tajuk Consumer Behaviour in Online Food Delivery yang dirilis Jakpat (April, 2025) menyatakan bahwa makanan cepat saji jadi pilihan menu makan siang utama yang dipesan daring via aplikasi oleh Gen Z dan Milenial. Sedangkan Gen X memilih makanan Padang sebagai menu yang paling banyak dikonsumsi pada jam makan siang.
Survei yang melibatkan 1.343 responden dengan komposisi Milenial sebanyak 46%, Gen Z 42% dan Gen X 12% serta mayoritas pekerja, mengungkap rata-rata pengeluaran ketiga generasi tersebut untuk pesan makan siang via aplikasi mencapai Rp62.356 untuk sekali makan siang. Rata-rata pengeluaran Generasi Z mencapai Rp58.609, Gen X sebesar Rp63.250 dan Milenial sebesar Rp65.130, menjadi yang terbesar.
Menu Makan Siang Favorit
Temuan pada survei yang juga menarik adalah alasan menggunakan aplikasi untuk memesan makanan. Alasan promo atau diskon dan malas keluar rumah mencapai lebih dari 50%. Alasan berikutnya tidak perlu antri berada di posisi ketiga sebesar 48% dan lebih banyak pilihan makanan sebesar 34%. Seperti yang sering kali ditemukan promo atau diskon makanan cepat saji cukup sering muncul di media dengan tampilan iklan yang menarik.
Warga Indonesia dalam Ancaman Bahaya Makanan Ultra-olahan
Berkaitan dengan makanan ultra-olahan yang meskipun rasa lebih enak dan daya simpan yang lebih lama, bahan tambahan pada makanan ultra-olahan sering kali mengorbankan nilai gizi makanan. Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi makanan ultra-olahan dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, termasuk obesitas, diabetes dan kanker karena jenis makanan ini memaksa organ pencernaan bekerja lebih keras.
“Tidak hanya sakit secara fisik tapi juga berpengaruh pada kesehatan mental jika mengonsumsi makanan ultra-olahan yang berlebihan,” ungkap dr. Agung Zentyo Wibowo pada Hidup Sehat TvOne, Rabu (16/10/2024).
Dengan penemuan bahwa makanan cepat saji memiliki peminat yang tinggi, edukasi masyarakat akan bahaya makanan ultra-olahan kian penting. Gerakan untuk mendukung konsumsi makanan tanpa olahan (real food) dapat dilakukan dengan menyediakan resep menu makanan sehat yang mudah dibuat di dapur sendiri, yang lebih kaya gizi, tampilan menarik dan tanpa pemanasan yang berulang. Makanan utuh yang segar, protein tanpa lemak, sayuran, biji-bijian, buah-buahan, dan minuman tanpa tambahan gula tetap menjadi pilihan yang lebih baik untuk kesehatan.
Baca Juga: Seberapa Sering Publik Indonesia Beli Produk Frozen Food?
Penulis: Faizza Fontessa
Editor: Editor