Sejak dulu, kemacetan merupakan masalah awam daerah perkotaan yang mengusik kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama di wilayah padat seperti Jakarta. Kondisi ini paling parah saat jam-jam sibuk seperti pagi dan sore hari.
Pengamat Tata Kota Nirwono Joga menyebut bahwa dalang utama di balik kemacetan ini adalah banyaknya penggunaan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor. Masalahnya, kendaraan-kendaraan tersebut tidak hanya digunakan oleh warga Jakarta saja, melainkan juga berdatangan dari wilayah-wilayah sekitar dalam jumlah besar.
"Bukan hanya berasal di Jakarta saja, tetapi dari Jabodetabek ya. Dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Itu semuanya menyerbu Jakarta," ujar Nirwono, Jumat, 30 Juni 2023, dilansir dari MetroTV.
Saking parahnya kemacetan tersebut, Jakarta sampai dinilai sebagai kota yang paling macet di Asia Tenggara.
Pernyataan tersebut disimpulkan dari laporan yang dipublikasi oleh Numbeo, sebuah database online global yang membagikan statistik-statistik kualitas hidup manusia sedunia. Tercatat Jakarta berada di posisi pertama sebagai negara dengan angka kemacetan tertinggi se-Asia Tenggara, dengan skor indeks umum sebanyak 254,9.
Numbeo menggunakan data yang diambil dari para pengguna situsnya untuk memberi penilaian terhadap kondisi kemacetan di kota-kota yang pengguna-pengguna tersebut tinggali. Terdapat beberapa kategori indeks yang Numbeo jabarkan untuk melakukan evaluasi tersebut. Namun, indeks yang digunakan untuk mengurutkan peringkat kota hanya satu, yaitu Indeks Kemacetan.
Indeks Kemacetan (Traffic Index) adalah penilaian yang menggabungkan faktor-faktor seperti waktu bepergian, ketidakpuasan terhadap waktu yang dihabiskan selama macet, emisi CO2, dan tingkat efisiensi sistem lalu lintas secara umum. Semakin tinggi indeksnya, semakin parah juga tingkat kemacetannya.
Manila, ibu kota Filipina, bertengger di posisi kedua dengan skor indeks 240,8. Selisih yang tidak begitu besar dari skor kemacetan Jakarta. Menyusul setelahnya adalah ibu kota Thailand yaitu Bangkok dengan indeks 211,9. Lalu, ada Kuala Lumpur, ibu kota Malaysia, di urutan keempat dengan indeks total mencapai 194.
Menariknya, meskipun peringkatnya di bawah Bangkok, emisi CO2 di Kuala Lumpur dibandingkan ibu kota tersebut. Numbeo memberi skor emisi CO2 Bangkok sebanyak 8.054,8 sementara Kuala Lumpur mendapat skor 8.475.
Singapura berada di urutan kelima dengan selisih skor yang cukup signifikan dari Kuala Lumpur, yakni mencapai 144,5. Singapura memang memiliki sistem transportasi umum berkualitas yang mendapat banyak pujian. Bahkan sebuah studi di Oliver Wyman Forum menobatkan transportasi umum kota tersebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia.
Barulah setelah itu, dua kota besar di Vietnam yaitu Ho Chi Minh dan Hanoi, bertengger di dua posisi terakhir dengan masing-masing skor 117,8 dan 106,1.
Sama seperti Kuala Lumpur, dua kota tersebut sebetulnya memiliki Tingkat pencemaran CO2 lebih banyak dibanding kota yang berada di peringkat atasnya atau Singapura. Namun mengejutkannya, mereka lebih unggul di faktor-faktor lain yang Numbeo pertimbangkan saat melakukan evaluasi.
Baca Juga: Volume Kendaraan Indonesia Naik, Jadi Faktor Pendorong Kemacetan?
Penulis: Dinzha Fairrana Atsir
Editor: Editor