DPR RI periode 2024-2029 kembali dipimpin oleh Puan Maharani. Kali ini, Puan ditemani oleh Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, Cucun Ahmad Syamsurijal, dan Adies Kadir sebagai wakilnya. Dasco Ahmad juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR di periode sebelumnya. Sementara itu, Saan merupakan anggota petahana DPR.
Pimpinan DPR berasal dari 5 partai dengan suara terbanyak. Puan dari PDI-Perjuangan (PDIP), Sufmi Dasco Ahmad dari Gerindra, Saan Mustopa dari Nasdem, Cucun Ahmad Syamsurijal dari PKB, dan Adies Kadir dari Golkar.
Gaji pokok Ketua dan Wakil Ketua DPR telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2000. Dalam aturan tersebut, tercatat besaran gaji pokok bagi Ketua DPR adalah Rp5.040.000 per bulan dan bagi Wakil Ketua DPR Rp4.620.000 per bulan.
Selain gaji pokok, pimpinan DPR juga mendapat sejumlah tunjangan, seperti tunjangan PPh, tunjangan pasangan dan anak, tunjangan jabatan, hingga uang pensiun.
Berapa Total Kekayaan Para Pemimpin DPR?
Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LKHPN), kekayaan Puan Maharani saat ini mencapai Rp552,9 miliar. Jauh berbeda dengan para wakilnya yang memiliki antara sekitar Rp6-Rp70 miliar.
Kekayaan Puan Maharani tercatat melonjak dari 2019 lalu yang sebesar Rp364,5 miliar. Kemudian, laporan terakhir pada Desember 2023 menyatakan, kekayaannya telah mencapai Rp552,9 miliar.
Sejak menjabat sebagai Wakil Ketua DPR pada periode sebelumnya, kekayaan Sufmi Dasco mencapai Rp45 miliar. Sebelumnya, saat baru menjadi anggota DPR, kekayaannya baru mencapai Rp22,9 miliar.
Para Wakil Ketua DPR ini juga memiliki background sebagai pengusaha. Sebelum terjun ke politik, keempatnya sempat menduduki posisi strategis di beberapa perusahaan.
Laporan terbaru Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa 55% dari anggota DPR 2024-2029 juga merupakan pebisnis. Namun, jika dilihat lebih luas, ada 354 anggota yang terafiliasi dengan bisnis. Artinya bukan sebagai pelaku utama, melainkan sebagai pemegang saham, komisaris, pendiri, atau posisi strategis lainnya.
Analisis ICW turut menyebut bahwa biaya politik terus meningkat dan “dibuat mahal”, baik secara legal maupun ilegal. Akibatnya, demokrasi bersifat transaksional, fungsi publik seperti penyusunan kebijakan dimanfaatkan untuk mempertahankan kekayaan dan muncul kartelisasi politik.
Politik saat ini hanya berorientasi pada keuntungan material dan kelompoknya sendiri, menggugurkan ruang kepentingan publik. Hal ini juga memicu munculnya kolusi dan korupsi.
Baca Juga: Ketua DPR RI Era Reformasi
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor