Proyek Food Estate, yang awalnya diperkenalkan sebagai solusi untuk mengatasi ancaman krisis pangan di Indonesia, justru membawa dampak buruk bagi lingkungan. Di berbagai wilayah seperti Kalimantan Tengah, proyek ini gagal memberikan hasil yang diharapkan, terutama di perkebunan singkong seluas 600 hektare di Gunung Mas yang mangkrak.
Pembukaan lahan besar-besaran untuk keperluan proyek ini tidak hanya menelantarkan potensi pangan, tetapi juga mempercepat penggundulan hutan yang sebelumnya berfungsi sebagai sumber kehidupan masyarakat adat lokal, termasuk suku Dayak. Hilangnya hutan telah mengubah fungsi ekosistem, yang mulanya merupakan sumber kayu, area berburu, hingga sumber obat-obatan tradisional bagi masyarakat.
Ironisnya, proyek yang dicanangkan pemerintah untuk ketahanan pangan justru menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Berdasarkan laporan BBC News Indonesia dan Greenpeace, proyek Food Estate berpotensi menggunduli hingga 3 juta hektare hutan di Indonesia jika terus dilanjutkan.
Lebih dari sekadar kegagalan proyek pertanian, pembukaan lahan ini juga menghilangkan keanekaragaman hayati yang tak ternilai, termasuk habitat kritis bagi spesies yang terancam punah seperti orang utan di Kalimantan.
Sementara di forum internasional seperti COP27 dan KTT G20, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi deforestasi, namun proyek strategis nasional seperti Food Estate memperparah kerusakan hutan di berbagai wilayah.
Total Luas Hutan yang Gundul di Dunia Tahun 2023
Pada tahun 2023, deforestasi global mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, dengan lebih dari 4,1 juta hektare hutan yang hilang di seluruh dunia. Brasil menempati posisi teratas sebagai negara dengan deforestasi hutan primer terbesar, kehilangan 1,14 juta hektare yang setara dengan 43% dari total hutan yang hilang di dunia.
Kondisi ini dipicu oleh perluasan perkebunan dan aktivitas penebangan, yang sebagian besar berfokus pada pembukaan lahan untuk agribisnis. Negara-negara lain yang juga mengalami kehilangan hutan primer dalam skala besar adalah Kongo, Bolivia, dan Indonesia, yang masing-masing kehilangan ratusan ribu hektare hutan.
Indonesia berada di peringkat keempat dalam daftar negara dengan deforestasi terbesar di dunia pada tahun 2023, dengan 290.000 hektare hutan primer yang hilang. Meskipun ini menunjukkan kenaikan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, angka ini tetap lebih rendah daripada puncak kehilangan hutan yang terjadi pada pertengahan 2010-an.
Faktor utama yang memicu deforestasi di Indonesia pada tahun 2023 adalah pembukaan lahan untuk proyek Food Estate dan ekspansi perkebunan kelapa sawit, serta kebakaran hutan yang terjadi akibat kondisi El Niño Hal ini menggarisbawahi tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam menjaga hutan tropisnya di bawah tekanan pembangunan ekonomi.
Baca Juga: Berapa Luas Hutan di Indonesia pada 2024?
Hutan Primer Indonesia yang Habis 2002-2023
Selama dua dekade terakhir, Indonesia telah kehilangan sekitar 13,8 juta hektare hutan primer. Data dari World Resources Institute menunjukkan bahwa puncak deforestasi di Indonesia terjadi pada tahun 2016, di mana lebih dari 600.000 hektare hutan habis akibat kebakaran besar yang melanda Sumatra dan Kalimantan.
Selain itu, sebagian besar dari kehilangan hutan tersebut disebabkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan besar, terutama kelapa sawit, serta pembukaan lahan baru untuk proyek-proyek pertanian skala besar seperti Food Estate. Deforestasi di Indonesia sering kali dikaitkan dengan kebakaran hutan yang juga berdampak luas pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat.
Meskipun terjadi penurunan pada beberapa tahun setelah 2016, angka deforestasi kembali naik pada tahun 2023, dengan lebih dari 300.000 hektare hutan primer hilang. Sebagian besar kehilangan ini disebabkan oleh pembukaan lahan untuk ekspansi perkebunan dan kebakaran hutan, terutama di wilayah Kalimantan dan Papua.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi deforestasi masih belum berhasil sepenuhnya, meskipun ada komitmen kuat di tingkat internasional untuk melindungi hutan dan menekan emisi karbon yang dihasilkan dari deforestasi.
Proyek Food Estate dan Dampaknya pada Deforestasi
Proyek Food Estate merupakan salah satu penyebab utama penggundulan hutan dalam beberapa tahun terakhir. Proyek ini mengorbankan hutan untuk dijadikan lahan monokultur, seperti singkong dan jagung.
Di Kalimantan Tengah, perkebunan singkong seluas 600 hektare yang mangkrak di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, adalah salah satu contoh nyata kegagalan proyek ini. Pembukaan lahan untuk singkong tak hanya menghancurkan ekosistem hutan, tetapi juga meminggirkan masyarakat adat Dayak yang selama ini menggantungkan hidup mereka pada hutan.
Greenpeace dan LSM lokal telah memperingatkan bahwa proyek-proyek seperti Food Estate akan menggunduli lebih banyak hutan di Indonesia, bahkan diperkirakan mencapai 3 juta hektare jika proyek ini terus dilanjutkan. Dampaknya tidak hanya pada hutan, tetapi juga pada keanekaragaman hayati, termasuk habitat orang utan di Kalimantan dan Sumatra, yang semakin terancam oleh konversi lahan.
Upaya Pengurangan Deforestasi: Apakah Cukup?
Pemerintah Indonesia telah berjanji untuk mengurangi deforestasi sebagai bagian dari komitmen global dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, kenyataannya, angka deforestasi masih tinggi, dan proyek-proyek strategis nasional seperti Food Estate justru memperparah keadaan.
Berbagai kebijakan terkait perlindungan hutan sering kali bertentangan dengan proyek pembangunan yang mengorbankan lahan hutan untuk pertanian skala besar. Apakah komitmen tersebut benar-benar akan diwujudkan atau hanya sekadar janji politik masih menjadi tanda tanya besar.
Masa Depan Hutan Indonesia dan Ketahanan Pangan
Kontradiksi antara proyek Food Estate dan upaya pelestarian lingkungan di Indonesia menimbulkan pertanyaan penting: apakah proyek ini benar-benar diperlukan demi ketahanan pangan, atau justru malah merusak sumber daya alam yang lebih besar dan lebih bernilai?
Pada akhirnya, solusi untuk ketahanan pangan tidak bisa mengorbankan hutan primer Indonesia, yang merupakan salah satu paru-paru dunia. Keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pembangunan, demi masa depan yang lebih hijau dan lestari bagi Indonesia dan dunia.
Baca Juga: Perbandingan Luas Hutan Indonesia vs Dunia
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor