Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menyatakan ada 79 anggota DPR periode 2024-2029 yang terafiliasi dengan dinasti politik. Akan tetapi, riset terbaru Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Oktober 2024 menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi.
ICW merilis laporan yang menunjukkan sebanyak 174 dari 580 anggota DPR periode 2024-2029 terindikasi terlibat dinasti politik. Dalam laporan tersebut, kader Golkar mendominasi, dengan 38 orang terindikasi terlibat dinasti politik.
Dinasti politik ini tergambar dari relasi kekerabatan para anggota dengan pejabat legislatif maupun pejabat yang dipilih melalui pemilu lainnya. Keterlibatan dengan elit partai politik juga banyak ditemukan.
Jumlah ini meningkat cukup signifikan daripada unsur dinasti politik pada badan DPR periode sebelumnya. Tercatat, terdapat 48 anggota DPR periode 2019-2024 yang terindikasi dinasti politik.
Pada laporan Formappi sebelumnya, disebutkan beberapa nama anggota DPR yang terafiliasi dinasti politik, di antaranya Rizki Aulia Rahman Natakusumah anak dari Achmad Dimyati Natakusumah (anggota DPR RI 2019-2024), Derta Rohidin istri dari Gubernur Bengkulu 2 periode, dan Diah Pikatan Orissa anak dari Ketua DPR Puan Maharani.
Kembali Menyeruak pada Pemilu 2024
Meskipun bukan isu atau fenomena baru, kabar dinasti politik ramai diperbincangkan setelah Pemilu 2024, terutama keikutsertaan Gibran Rakabuming sebagai Cawapres periode 2024-2029.
Respon masyarakat terhadap fenomena dinasti politik ini terekam dalam beberapa lembaga survei politik di Indonesia. Hasil survei Charta Politika menyatakan sebanyak 59,3% responden tidak setuju dengan dinasti politik.
Akan tetapi, dalam survei Populi Center, 46,3% menganggap dinasti politik adalah fenomena yang biasa saja. Bahkan, 15,8% mengakui dapat menerima dinasti politik.
Sementara itu, hasil survei Indikator Politik Indonesia mengungkapkan bahwa mayoritas responden merasa tidak masalah dengan dinasti politik selama dipilih langsung oleh masyarakat. Meski begitu, 36,3% menyatakan bahwa politik dinasti dapat menghambat demokrasi.
Apakah Dinasti Politik Berbahaya?
Dilansir dari The Conversation, dinasti politik di Indonesia terus tumbuh karena calon kader yang berasal dari garis keluarga politikus senior biasanya lebih mudah dikenal publik dan memiliki reputasi tersendiri.
Calon kader tersebut juga memiliki sumber daya yang lebih mumpuni karena dana, relawan, dan dukungan lain yang telah diperoleh keluarganya.
Partai politik sering kali mempermudah proses kaderisasi apabila pihak keluarga calon kader tersebut telah loyal dan dipercaya elit partai. Apalagi jika partai tersebut memiliki pengaruh kuat dengan sejarah yang panjang, kemungkinan tercipta dinasti politik akan lebih besar.
Keberadaan dinasti politik sering dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas untuk memenangkan pemungutan suara.
Selain itu, dengan adanya hubungan khusus politikus maupun calon politikus dengan pengampu kebijakan, keputusan-keputusan dihasilkan cenderung berpihak pada kelompok-kelompok tertentu. Kebijakan yang pro pada segelintir kelompok dapat berdampak negatif pada kelompok lainnya.
Konsentrasi kekuasaan pada kelompok tertentu rentan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Perjalanan suatu negara diprioritaskan hanya untuk kepentingan kelompoknya.
Di Indonesia, situasi ini sudah terjadi di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Nepotisme dan korupsi tumbuh subur kala itu.
Baca Juga: Tren Calon Tunggal Pilkada, Permainan Apik Para Elite Politik
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor