Work-life balance, atau keseimbangan antara kehidupan profesional dengan kehidupan pribadi, semakin menjadi dambaan banyak pekerja dunia. Mengedepankan karier memang baik, namun membangun dan mempertahankan hubungan pribadi juga tak kalah penting.
Bagi mereka yang bekerja secara remote alias jarak jauh, tidak dari kantor langsung, membagi waktu untuk kehidupan pribadi dan waktu bekerja sering kali jadi kendala sendiri. Apalagi bagi pekerja dengan sistem work from home (WFH), di mana kehidupan pribadi tak jarang bercampur aduk dengan kehidupan professional. Akibatnya, banyak yang tidak bisa menyeimbangkan kedua hal tersebut. Kehidupan pribadi jadi berantakan dan jalan karier juga jadi tak terurus. Kondisi seperti ini tentu sangat bahaya.
Work-life balance tidak hanya sekadar bicara keseimbangan pembagian waktu kerja dan waktu pribadi, namun juga menyangkut pengaruhnya terhadap kesehatan fisik dan mental pekerja. Terlalu banyak bekerja tentu tidak baik bagi tubuh dan pikiran, namun terlalu banyak mengalokasikan waktu untuk kehidupan pribadi juga bisa membuat jenuh dan lama kelamaan muncul rasa tidak puas dengan pekerjaan. Penting bagi pekerja dan perusahaan untuk bisa membuat batasan yang jelas antara waktu untuk bekerja dan waktu untuk kehidupan pribadi.
Remote, sebuah perusahaan perekrutan global, kembali menyusun indeks work-life balance global pada 2024 untuk memberi gambaran kondisi kerja di setiap negara. Pemeringkatan dilakukan terhadap 60 negara dengan produk domestik bruto (PDB) tertinggi setiap tahunnya melalui 10 indikator yang dipandang mewakili kondisi keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi. Setiap indikator diberi bobot tersendiri sesuai kepentingannya dengan skor terbesar 100 poin. Penilaian dilakukan pada April 2024. Adapun indikator yang dinilai adalah sebagai berikut.
- Undang-undang terkait cuti (cuti berbayar, hari libur nasional, dan lain-lain)
- Minimum cuti sakit berbayar
- Cuti melahirkan
- Bayaran cuti melahirkan
- Upah minimum per jam
- Sistem kesehatan pekerja
- Indeks kebahagiaan pekerja (nilai 10 jadi yang tertinggi)
- Rata-rata jam kerja per minggu per pekerja
- Inklusivitas LGBTQ (nilai 100 tertinggi), baik secara hukum maupun dari opini publik
- Tingkat keamanan pekerja (makin kecil nilainya, makin baik)
Negara dengan Indeks Work-Life Balance Terbaik
Hasilnya, Selandia Baru meraih indeks work-life balance tertinggi dengan skor 80,76. Selandia Baru berhasil mempertahankan posisinya sejak 2023 lalu. Budaya kerja di negara ini dipandang lebih santai, sangat berpegang pada pentingnya komunikasi. Indeks kebahagiaan Selandia Baru cukup tinggi, menggambarkan bahagianya pekerja di negara tersebut. Upah minimumnya tinggi dan cuti berbayar mencapai 32 hari. Tidak hanya itu, Selandia Baru juga menjadi salah satu negara teraman untuk bekerja dan tinggal.
Irlandia menduduki posisi kedua dengan skor 77,89. Sistem kesehatan bagi pekerjanya sangat menonjol, begitu pula dengan upah minimum yang cukup tinggi dibandingkan negara lain. Tidak ada sistem hierarki yang paten dalam kondisi kerjanya, setiap pekerja, sekecil apapun jabatannya, punya perannya masing-masing dalam mensukseskan perusahaan. Hal ini membuat hubungan antara pekerja dengan atasan menjadi erat.
Menutup posisi 3 besar adalah Belgia dan Denmark dengan skor 73,45. Ini pertama kalinya Belgia masuk ke posisi 10 besar, berkat kebijakan cuti sakit berbayarnya. Sementara itu, Denmark tercatat memiliki indeks kebahagiaan pekerja yang cukup tinggi. Cuti berbayarnya juga cukup panjang (35 hari) dan inklusivitas terhadap LGBTQ tercatat jadi yang tertinggi.
Sementara itu, Indonesia harus berpuas berada di peringkat ke-43 dengan skor 39,36 poin. Di kawasan regional, Indonesia ada di bawah Singapura (peringkat ke-26 dengan skor 56,84), Vietnam (peringkat ke-37 dengan skor 46,4), dan Thailand (peringkat ke-39, skor 44,64). Indonesia berhasil mengungguli Malaysia (posisi ke-47 dengan nilai 39,09) dan Filipina (urutan ke-59 dengan skor 27,46).
Cuti berbayar di Indonesia tercatat sebanyak 27 hari dengan bayaran untuk cuti sakit berbayar sebesar 50% dari total gaji. Indeks kebahagiaannya ada di angka 5,56 dari 10 poin, dengan rerata jam kerja per minggunya sebanyak 40,04 jam. Indeks keamanannya sebesar 1,83, semakin kecil semakin baik.
Secara keseluruhan, masih ada beberapa sistem yang mesti dibenahi dalam sektor kerja di Indonesia untuk bisa meraih work-life balance yang lebih baik. Menurut survei Jakpat pada Juni 2024, tercatat bahwa mayoritas Gen Z di Indonesia menginginkan work-life balance dalam jenjang kariernya. Sejalan dengan itu, survei dari Asia JobStreet dan JobsDB bersama dengan Boston Consulting Group pada 2023 juga menyebutkan bahwa 43% responden di Indonesia mengutamakan work-life balance dalam memilih pekerjaan.
Work-life balance yang baik diawali dari pekerja itu sendiri dan ketentuan perusahaan. Bekerja terlalu banyak akan menimbulkan burnout yang tentu berdampak pada produktivitas. Perlu adanya keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi untuk bisa mendorong pekerja mencapai potensi terbaiknya.
Baca Juga: Work From Home Ternyata Tidak Selamanya Baik Untuk Kesehatan
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor